Huruf Jawa - Aksara Jawa - Belajar menulis
Apa itu Huruf Jawa?
Aksara
Jawa (atau dikenal dengan nama hanacaraka (aksara Jawa) atau carakan
(aksara Jawa: ꦕꦫꦏꦤ꧀)) adalah aksara jenis abugida turunan aksara
Brahmi (yang merupakan turunan dari aksara Assyiria) yang digunakan atau
pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa
Makasar, (Pasar), bahasa Sunda[1], dan bahasa Sasak[1]. Bentuk aksara
Jawa yang sekarang dipakai (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan
Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19.
Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi atau dikenal dengan
Aksara Jawa Kuno yang juga merupakan abugida yang digunakan sekitar abad
ke-8 – abad ke-16. Aksara ini juga memiliki kedekatan dengan aksara
Bali. Nama aksara ini dalam bahasa Jawa adalah Dentawiyanjana.
Dalam
susunan abjad Jawa di atas belum ada penggolongan serta pemisahan
aksara Murda seperti yang dikenal sekarang dalam setiap susunan abjad
Jawa, dalam susunan abjad Jawa pra Islam di atas masih ditemukan
beberapa aksara yang keberadaanya wajib hadir untuk menuliskan kata –
kata Jawa kuna, dan aksara – aksara tersebut pada susunan aksara Jawa –
Islam sedikit mengalami perubahan terutama sekali setelah adanya peran
pemerintah kolonial Belanda untuk meresmikan tata eja aksara Jawa kala
itu. Perubahan tersebut menghasilkan pengelompokan aksara Murda seperti
yang dikenal sampai saat ini.
Dalam
susunan abjad Jawa di atas belum ada penggolongan serta pemisahan
aksara Murda seperti yang dikenal sekarang dalam setiap susunan abjad
Jawa, dalam susunan abjad Jawa pra Islam di atas masih ditemukan
beberapa aksara yang keberadaanya wajib hadir untuk menuliskan kata –
kata Jawa kuna, dan aksara – aksara tersebut pada susunan aksara Jawa –
Islam sedikit mengalami perubahan terutama sekali setelah adanya peran
pemerintah kolonial Belanda untuk meresmikan tata eja aksara Jawa kala
itu. Perubahan tersebut menghasilkan pengelompokan aksara Murda seperti
yang dikenal sampai saat ini.
hana caraka (ana utusan)
data (sabanjuré) sawala (= suwala –kêrêngan)
pada jayanya (babag kekuwatané)
maga (ma‐ang‐ga) batanga (bangké) = mangawak bangké = palastra !
Dalam periode ini, pengertian aksara Murda masih belum disamakan dengan huruf kapital seperti halnya dalam tulisan Latin, namun keberadaan aksara Murda yang dipisahkan dari susunan huruf Jawa dasar (nglegana) karena merupakan aksara lama yang keberadaannya tetap dipertahankan, dan penggunaan aksara ini masih sama seperti pada aksara Jawa – Hindu.
Kemudian periode ini juga ditandai dengan digunakannya aksara rekan untuk menyesuaikan penulisan kata-kata Arab yang sudah mulai dikenal masyarakat Jawa kala itu dengan semakin intensifnya dakwah Islam di tanah Jawa.
Aksara Jawa-Kolonial
Periode ini adalah periode ketika aksara Jawa berkembang pada zaman pemerintah Kolonial Hindia Belanda berkuasa atas tanah Jawa, yang diwakili tata tulis aksara Jawa keluaran ejaan Sriwedari yang terdapat pada teks-teks Jawa yang ditulis sebelum adanya tata eja aksara Jawa Kongres Bahasa Jawa II Malang (1996).
Perbedaan yang paling kentara adalah pemakaian aksara Murda pada periode ini, yang walaupun sebagian masih sama perlakuannya untuk aksara murda seperti pada periode-periode sebelumnya, namun sebagian sudah berubah fungsi sebagai huruf kapital layaknya dalam aksara Latin.
Penggunaan (pengejaan) aksara Jawa pertama kali dilokakaryakan pada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan menggunakan aksara ini, sejalan dengan makin meningkatnya volume cetakan menggunakan aksara ini, meskipun pada saat yang sama penggunaan huruf arab pegon dan huruf Latin bagi teks-teks berbahasa Jawa juga meningkat frekuensinya. Pertemuan pertama ini menghasilkan Wewaton Sriwedari ("Ketetapan Sriwedari"), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena lokakarya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/ (O Jawa). Alih-alih menuliskan "Ronggawarsita" (bentuk ini banyak dipakai pada naskah-naskah abad ke-19), dengan ejaan baru penulisan menjadi "Ranggawarsita", mengurangi penggunaan taling-tarung.
Periode ini adalah periode ketika aksara Jawa berkembang pada zaman pemerintah Kolonial Hindia Belanda berkuasa atas tanah Jawa, yang diwakili tata tulis aksara Jawa keluaran ejaan Sriwedari yang terdapat pada teks-teks Jawa yang ditulis sebelum adanya tata eja aksara Jawa Kongres Bahasa Jawa II Malang (1996).
Perbedaan yang paling kentara adalah pemakaian aksara Murda pada periode ini, yang walaupun sebagian masih sama perlakuannya untuk aksara murda seperti pada periode-periode sebelumnya, namun sebagian sudah berubah fungsi sebagai huruf kapital layaknya dalam aksara Latin.
Penggunaan (pengejaan) aksara Jawa pertama kali dilokakaryakan pada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan menggunakan aksara ini, sejalan dengan makin meningkatnya volume cetakan menggunakan aksara ini, meskipun pada saat yang sama penggunaan huruf arab pegon dan huruf Latin bagi teks-teks berbahasa Jawa juga meningkat frekuensinya. Pertemuan pertama ini menghasilkan Wewaton Sriwedari ("Ketetapan Sriwedari"), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena lokakarya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/ (O Jawa). Alih-alih menuliskan "Ronggawarsita" (bentuk ini banyak dipakai pada naskah-naskah abad ke-19), dengan ejaan baru penulisan menjadi "Ranggawarsita", mengurangi penggunaan taling-tarung.
Periode
ini adalah periode perkembangan aksara Jawa setelah zaman Kemerdekaan
Indonesia hingga sekarang, antara lain diterbitkannya buku Karti Basa
oleh Kementrian Pengadjaran,
Pendidikan dan Keboedajaan pada tahun 1946 yang berisi Patokan
Panoelise Temboeng Djawa nganggo Aksara Djawa sarta Angka (Pedoman
Penulisan Kata Jawa dengan Aksara Jawa serta Angka), serta Patokan
Panoelise Temboeng Djawa nganggo Aksara Latin (Pedoman Penulisan Kata
Jawa dengan Huruf Latin), yang kemudian diterbitkan terpisah sebagai
Tatanan Njerat Basa Djawi oleh Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan
Kementerian P.P. dan K. Jogjakarta pada tahun 1955, yang telah
disesuaikan dengan Ejaan Suwandi.
Kemudia, untuk menindaklanjuti keputusan Kongres Bahasa Jawa I di Semarang pada tanggal 15-20 Juli 1991, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi DIY pada tahun anggaran 1992/1993 memutuskan ditetapkan penyelenggaraan kegiatan penyusunan pedoman penulisan aksara Jawa. Masalah yang dibahas dalam pedoman tersebut antara lain penyesuaian penulisan bahasa Jawa dengan ahara Jawa dan aksara Latin, penulisan kata-kata serapan dari bahasa serumpun dan bahasa asing dengan aksara Jawa, penulisan bunyi f dan v, penulisan bunyi yang ucapannya bervariasi, dan penulisan singkatan kata.
Pada Kongres Bahasa Jawa II 1996 dikeluarkanlah Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tiga gubernur (perda Jawa Tengah, No. 430/76/1996, DI Yogyakarta: No. 214/119/5280/1996, dan Jawa Timur No. 430/5052/0311/1996) pada tahun 1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di ketiga provinsi tersebut.[4].
Pada tanggal 17 dan 18 Mei 1996 para ahli bahasa Jawa dari Provinsi DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berkumpul di Yogyakarta dan menghasilkan buku Pedoman Penulisan Aksara Jawa yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Nusatama. Perbedaan yang paling kentara dalam pedoman yang baru ini adalah pemakaian aksara murda sudah dianggap seperti layaknya huruf kapital seperti pada penggunaan huruf kapital dalam aksara Latin, tanpa mengindahkan tradisi lama yaitu hadirnya aksara Murda sebagai pendamping penulisan kata Jawa Kuna – Pertengahan.
Tonggak perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan pada Kongres Basa Jawa III, 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta. Perubahan yang dihasilkan kongres ini adalah beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan (kata dasar + imbuhan), dan KBJ IV yang membuka jalan bagi dimasukkannya aksara Jawa ke Unicode.
Kemudia, untuk menindaklanjuti keputusan Kongres Bahasa Jawa I di Semarang pada tanggal 15-20 Juli 1991, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi DIY pada tahun anggaran 1992/1993 memutuskan ditetapkan penyelenggaraan kegiatan penyusunan pedoman penulisan aksara Jawa. Masalah yang dibahas dalam pedoman tersebut antara lain penyesuaian penulisan bahasa Jawa dengan ahara Jawa dan aksara Latin, penulisan kata-kata serapan dari bahasa serumpun dan bahasa asing dengan aksara Jawa, penulisan bunyi f dan v, penulisan bunyi yang ucapannya bervariasi, dan penulisan singkatan kata.
Pada Kongres Bahasa Jawa II 1996 dikeluarkanlah Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tiga gubernur (perda Jawa Tengah, No. 430/76/1996, DI Yogyakarta: No. 214/119/5280/1996, dan Jawa Timur No. 430/5052/0311/1996) pada tahun 1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di ketiga provinsi tersebut.[4].
Pada tanggal 17 dan 18 Mei 1996 para ahli bahasa Jawa dari Provinsi DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berkumpul di Yogyakarta dan menghasilkan buku Pedoman Penulisan Aksara Jawa yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Nusatama. Perbedaan yang paling kentara dalam pedoman yang baru ini adalah pemakaian aksara murda sudah dianggap seperti layaknya huruf kapital seperti pada penggunaan huruf kapital dalam aksara Latin, tanpa mengindahkan tradisi lama yaitu hadirnya aksara Murda sebagai pendamping penulisan kata Jawa Kuna – Pertengahan.
Tonggak perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan pada Kongres Basa Jawa III, 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta. Perubahan yang dihasilkan kongres ini adalah beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan (kata dasar + imbuhan), dan KBJ IV yang membuka jalan bagi dimasukkannya aksara Jawa ke Unicode.
Mengungkap makna kehidupan dibalik huruf jawa
Adapun makna yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) HA NA CA RA KA:
Adapun makna yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) HA NA CA RA KA:
Ha: Hurip = hidup
Na: Legeno = telanjang
Ca: Cipta = pemikiran, ide ataupun kreatifitas
Ra: Rasa = perasaan, qalbu, suara hati atau hati nurani
Ka: Karya = bekerja atau pekerjaan.
(2) DA TA SA WA LA
DA TA SA WA LA (versi pertama):
Da: Dodo = dada
Ta: Toto = atur
Sa: Saka = tiang penyangga
Wa: Weruh = melihat
La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.
Da: Dodo = dada
Ta: Toto = atur
Sa: Saka = tiang penyangga
Wa: Weruh = melihat
La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.
DA TA SA WA LA (versi kedua):
Da-Ta (digabung): dzat = dzat
Sa: Satunggal = satu, Esa
Wa: Wigati = baik
La: Ala = buruk
Da-Ta (digabung): dzat = dzat
Sa: Satunggal = satu, Esa
Wa: Wigati = baik
La: Ala = buruk
(3) PA DHA JA YA NYA:
(4) MA GA BA THA NGA :
Tetapi selanjutnya dengan sedikit ngawur saya pribadi akan berusaha menyelami dan menjabarkan tafsir huruf Jawa versi Ki Hadjar tersebut sesuai dengan kemampuan saya.
Kalau banyak kesalahan ya mohon dimaklumi karena saya bukanlah seorang
filusuf, saya hanya ingin mengenal lebih jauh huruf Jawa (walaupun
secara ngawur dengan cara sendiri).
(1) HA NA CA RA KA:
Ha: Hurip = hidup
Na: Legeno = telanjang
Ca: Cipta = pemikiran, ide ataupun kreatifitas
Ra: Rasa = perasaan, qalbu, suara hati atau hati nurani
Ka: Karya = bekerja atau pekerjaan.
Ha: Hurip = hidup
Na: Legeno = telanjang
Ca: Cipta = pemikiran, ide ataupun kreatifitas
Ra: Rasa = perasaan, qalbu, suara hati atau hati nurani
Ka: Karya = bekerja atau pekerjaan.
Dari arti secara harfiah tsb, saya berusaha menjabarkannya menjadi dua versi:
**) Ketelanjangan=kejujuran
Bukankah
secara fisik manusia lahir dalam keadaan telanjang? Tapi sebenarnya
ketelanjangan itu tidak hanya sekedar fisik saja. Bayi yang baru lahir
juga memiliki jiwa yang "telanjang", masih suci…polos lepas dari segala
dosa. Seorang bayi juga "telanjang" karena dia masih jujur…lepas dari
perbuatan bohong (kecuali bayi aneh
). Sedangkan CA-RA-KA mempunyai makna cipta-rasa-karya . Sehingga HA
NA CA RA KA akan memiliki makna dalam mewujudkan dan mengembangkan
cipta, rasa dan karya kita harus tetap menjunjung tinggi kejujuran.
Marilah kita "telanjang" dalam bercipta, berrasa dan berkarya.
**)) Pengembangan potensi
Jadi
HA NA CA RA KA bisa ditafsirkan bahwa manusia "dihidupkan" atau
dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan "telanjang". Telanjang di sini
dalam artian tidak mempunyai apa-apa selain potensi. Oleh karena itulah
manusia harus dapat mengembangkan potensi bawaan tersebut dengan
cipta-rasa-karsa. Cipta-rasa-karsa merupakan suatu konsep segitiga (segitiga merupakan bentuk paling kuat dan seimbang)
antara otak yang mengkreasi cipta, hati/kalbu yang melakukan fungsi
kontrol atau pengawasan dan filter (dalam bentuk rasa) atas segala
ide-pemikiran dan kreatifitas yang dicetuskan otak, serta terakhir
adalah raga/tubuh/badan yang bertindak sebagai pelaksana semua
kreatifitas tersebut (setelah dinyatakan lulus sensor oleh rasa sebagai
badan sensor manusia).
Secara ideal memang semua perbuatan (karya) yang dilakukan oleh manusia tidak hanya semata hasil kerja otak tetapi juga "kelayakannya" sudah diuji oleh rasa. Rasa idealnya hanya meloloskan ide-kreatifitas yang sesuai dengan norma. Norma di sini memiliki arti yang cukup luas, yaitu meliputi norma internal (perasaan manusia itu sendiri atau istilah kerennya kata hati atau suara hati) atau bisa juga merupakan norma eksternal (dari Tuhan yang berupa agama dan aturannya atau juga norma dari masyarakat yang berupa aturan hukum dll).
(2) DA TA SA WA LA: (versi pertama)
Secara ideal memang semua perbuatan (karya) yang dilakukan oleh manusia tidak hanya semata hasil kerja otak tetapi juga "kelayakannya" sudah diuji oleh rasa. Rasa idealnya hanya meloloskan ide-kreatifitas yang sesuai dengan norma. Norma di sini memiliki arti yang cukup luas, yaitu meliputi norma internal (perasaan manusia itu sendiri atau istilah kerennya kata hati atau suara hati) atau bisa juga merupakan norma eksternal (dari Tuhan yang berupa agama dan aturannya atau juga norma dari masyarakat yang berupa aturan hukum dll).
(2) DA TA SA WA LA: (versi pertama)
Da: Dodo = dada
Ta: Toto = atur
Sa: Saka = tiang penyangga
Wa: Weruh = melihat
La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.
Ta: Toto = atur
Sa: Saka = tiang penyangga
Wa: Weruh = melihat
La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.
DA
TA SA WA LA berarti dadane ditoto men iso ngadeg jejeg (koyo soko) lan
iso weruh (mangerteni) lakuning urip. Dengarkanlah suara hati (nurani)
yang ada di dalam dada, agar kamu bisa berdiri tegak seperti halnya
tiang penyangga dan kamu juga akan mengerti makna kehidupan yang
sebenarnya.
Kata "atur" bisa berarti manage dan juga evaluate sedangkan dada sebenarnya melambangkan hati (yang terkandung di dalam dada). Jadi dadanya diatur mengandung arti bahwa kita harus senantiasa me-manage (menjaga-mengatur) hati kita untuk melakukan suatu langkah evaluatif dalam menjalani kehidupan supaya kita dapat senantiasa berdiri tegak dan tegar dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kita harus senantiasa memiliki motivasi dan optimisme dalam berusaha tanpa melupakan kodrat kita sebagai makhluk Alloh yang dalam konsep Islam dikenal dengan ikhtiar-tawakal, ikhtiar adalah berusaha semaksimal mungkin sedangkan tawakal adalah memasrahkan segala hasil usaha tersebut kepada Alloh.
Kata "atur" bisa berarti manage dan juga evaluate sedangkan dada sebenarnya melambangkan hati (yang terkandung di dalam dada). Jadi dadanya diatur mengandung arti bahwa kita harus senantiasa me-manage (menjaga-mengatur) hati kita untuk melakukan suatu langkah evaluatif dalam menjalani kehidupan supaya kita dapat senantiasa berdiri tegak dan tegar dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kita harus senantiasa memiliki motivasi dan optimisme dalam berusaha tanpa melupakan kodrat kita sebagai makhluk Alloh yang dalam konsep Islam dikenal dengan ikhtiar-tawakal, ikhtiar adalah berusaha semaksimal mungkin sedangkan tawakal adalah memasrahkan segala hasil usaha tersebut kepada Alloh.
DA TA SA WA LA: (versi kedua)
Da-Ta (digabung): dzat = dzat
Sa: Satunggal = satu, Esa
Wa: Wigati = baik
La: Ala = buruk
Sa: Satunggal = satu, Esa
Wa: Wigati = baik
La: Ala = buruk
DA
TA SA WA LA bisa ditafsirkan bahwa hanya Dzat Yang Esa-lah (yaitu
Tuhan) yang benar-benar mengerti akan baik dan buruk. Secara kasar dan
ngawur saya mencoba menganggap bahwa kata "baik" di sini ekuivalen
dengan kata "benar" sedangkan kata "buruk" ekuivalen dengan "salah".
Jadi alangkah baiknya kalau kita tidak dengan semena-mena menyalahkan
orang (kelompok) lain dan menganggap bahwa kita (kelompok kita) sebagai
pihak yang paling benar.
(3) PA DHA JA YA NYA:
PA DHA JA YA NYA = sama kuat
Pada dasarnya/awalnya semua manusia mempunyai dua potensi yang sama (kuat), yaitu potensi untuk melakukan kebaikan dan potensi untuk melakukan keburukan. Mungkin memang benar ungkapan bahwa manusia itu bisa menjadi sebaik malaikat tetapi bisa juga buruk seperti setan dan juga binatang. Mengingat adanya dua potensi yang sama kuat tersebut maka selanjutnya tugas manusialah untuk memilih potensi mana yang akan dikembangkan. Sangat manusiawi dan lumrah jika manusia melakukan kesalahan, tetapi apakah dia akan terus memelihara dan mengembangkan kesalahannya tersebut? Potensi keburukan dalam diri manusia adalah hawa nafsu, sehingga tidak salah ketika Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa musuh terbesar kita adalah hawa nafsu yang bersemayam dalam diri kita masing-masing.
PA DHA JA YA NYA = sama kuat
Pada dasarnya/awalnya semua manusia mempunyai dua potensi yang sama (kuat), yaitu potensi untuk melakukan kebaikan dan potensi untuk melakukan keburukan. Mungkin memang benar ungkapan bahwa manusia itu bisa menjadi sebaik malaikat tetapi bisa juga buruk seperti setan dan juga binatang. Mengingat adanya dua potensi yang sama kuat tersebut maka selanjutnya tugas manusialah untuk memilih potensi mana yang akan dikembangkan. Sangat manusiawi dan lumrah jika manusia melakukan kesalahan, tetapi apakah dia akan terus memelihara dan mengembangkan kesalahannya tersebut? Potensi keburukan dalam diri manusia adalah hawa nafsu, sehingga tidak salah ketika Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa musuh terbesar kita adalah hawa nafsu yang bersemayam dalam diri kita masing-masing.
(4) MA GA BA THA NGA:
Ma: Sukma = sukma, ruh, nyawa
Ga: Raga = badan, jasmani
Ba-Tha: bathang = mayat
Nga: Lungo = pergi
Ma: Sukma = sukma, ruh, nyawa
Ga: Raga = badan, jasmani
Ba-Tha: bathang = mayat
Nga: Lungo = pergi
Secara
singkat MA GA BA THA NGA saya artikan bahwa pada akhirnya manusia akan
menjadi mayat ketika sukma atau ruh kita meninggalkan raga/jasmani
kita. Sesungguhnya kita tidak akan hidup selamanya dan pada akhirnya
akan kembali juga kepada Alloh. Oleh karena itu kita harus senantiasa
mempersiapkan bekal untuk menghadap Alloh.
Ayo Belajar Nulis Huruf Jawa
Sebagai orang Jawa ya sudah sepantasnya tho, kalo aku juga mempopulerkan cara menulis menggunakan huruf Jawa. Sebab berdasarkan penerawangan yang aku lakukan melalui primbon 6 huruf
ternyata aksara Jawa ini telah diusulkan oleh Jason Glavy (orang
Jepang) dengan nama Tjarakan ke Unicode, bahkan perusahaan Agfa Monotype
juga telah membuat contoh font Javanese. Nah lho ...
So, mosok aku sing orang jowo ora gelem membudayakannya ..
Inggih tho..
Inggih tho..
Opo tho aksara Jawa itu ?
Aksara jawa berbeda dengan huruf Latin yang kita gunakan sekarang ini untuk menulis. Aksara jawa terdiri dari :
1. Aksara Carakan
Aksara inti yang terdiri dari 20 suku kata ato biasa disebut Dentawiyanjana, yaitu :
ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga ;
2. Aksara Pasangan
Bentuk mati (huruf) dari aksara inti, yaitu :
h, n, c, r, k, d, t, s, w, l,
p, dh, j, y, ny, m, g, b, th, ng ;
Aksara inti yang terdiri dari 20 suku kata ato biasa disebut Dentawiyanjana, yaitu :
ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga ;
2. Aksara Pasangan
Bentuk mati (huruf) dari aksara inti, yaitu :
h, n, c, r, k, d, t, s, w, l,
p, dh, j, y, ny, m, g, b, th, ng ;
3. Aksara Swara
Biasanya untuk huruf awal penulisan nama kota ato nama
orang yang dihormati yang diawali dengan huruf hidup,
yaitu : A, I, U, E, O
Biasanya untuk huruf awal penulisan nama kota ato nama
orang yang dihormati yang diawali dengan huruf hidup,
yaitu : A, I, U, E, O
4. Aksara Rekan
Untuk penulisan huruf-huruf yang berasal dari serapan bahasa
asing, yaitu : kh, f, dz, gh, z
Untuk penulisan huruf-huruf yang berasal dari serapan bahasa
asing, yaitu : kh, f, dz, gh, z
5. Aksara Murda
Biasanya untuk huruf awal penulisan nama kota ato nama
orang yang dihormati, yaitu : Na, Ka, Ta, Sa, Pa, Nya, Ga, Ba
Biasanya untuk huruf awal penulisan nama kota ato nama
orang yang dihormati, yaitu : Na, Ka, Ta, Sa, Pa, Nya, Ga, Ba
6. Aksara Wilangan
Untuk penulisan bilangan dalam bahasa Jawa,
yaitu angka 1 s/d 10 dalam aksara Jawa.
Untuk penulisan bilangan dalam bahasa Jawa,
yaitu angka 1 s/d 10 dalam aksara Jawa.
7. Tanda Baca (Sandangan)
Merupakan tanda baca yang biasa digunakan, huruf hidup
serta huruf mati yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari,
yaitu tanda : koma, titik, awal kamimat, dll
huruf : i, o, u, e.
huruf mati : _r, _ng, _ra, _re, dll
Merupakan tanda baca yang biasa digunakan, huruf hidup
serta huruf mati yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari,
yaitu tanda : koma, titik, awal kamimat, dll
huruf : i, o, u, e.
huruf mati : _r, _ng, _ra, _re, dll
Setelah
menguasai aksara-aksara di atas, kita tidak bisa langsung
menggunakannya untuk menulis sebagai mana ejaan dalam bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Sebab ada beberapa hal yang menjadi perkecualian
dan menjadi aturan tambahan.
Tambah pusing ? Gak po po .. wajar .. aku yang wong jowo wae sering salah.
Tadi
sempat disebut kalo orang luar udah bikin font aksara jawa untuk
bahasa komputer. Tetapi jangan salah, di sini pun dah ada yang jago dan
malah juga udah berusaha mendaftarkannya ke Unicode, Budi Teguh Sayoga
namanya. Bahkan kangmas Sayoga ini telah membuat bahasa ANSI (bukan
Unicode) untuk dibagikan gratis sehingga kita bisa menuliskan aksara
Jawa ini di komputer dengan keyboard selayaknya kita mengetik biasa.
Penasaran kan ? Silakan masuk ke situsnya kangmas Sayoga. Ato ambil font hanacaraka disini dan ubah file ekstension nya dari PPT menjadi ZIP.
Oh
ya, biasanya kalo membaca suatu artikel gak puas kalo belum mencoba.
Tulisan di bawah dibuat menggunakan font hanacaraka nya kangmas Sayoga.
Coba baca tulisannya dan jawab di kolom komentar ya.
Matur nuwun, pareng.
Sebagai
anak muda yang begitu mencintai basa nenek moyang, bintang ingin
menulis sebuah tulisan di komputer menggunakan font jawa, yaitu yang ha na ca ra ka seperti gambar dibawah ini :
Karena memang tidak punya jenis huruf itu di komputer, akhirnya mau nggak mau mencari di internet.
Mulanya
memang agak kesulitan tapi akhirnya menemukan huruf ini atas bantuan
dari om google. Akhirnya berhasil menemukan juga font yang menggunakan
aksara bahasa jawa. Dan tentu saja ini semua gratis dan nggak usah
pakai bayar segala.
Berikut link font jawa, silahkan download disini, Serta panduan copyright dalam penggunanya. Untuk menginstal sama seperti saat anda menginstal fond di windows anda.
Semoga
dengan adanya huruf basa jawa yang bisa ditulis di komputer. Dapat
meningkatkan motivasi anak muda seperti saya untuk terus menghargai
kebudayaan nenek moyang kita. Walaupun mungkin kita tidak menggunakan
basa itu sesering bahasa indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar