SELAMAT DATANG DI BLOG HARYOTO SUNGAILIAT BANGKA

Jumat, 03 Agustus 2012

Konsep SCL (Student-Centered Learning)

Pendidikan – Konsep SCL (Student-Centered Learning)

Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran yang tadinya berpusat pada dosen menjadi pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa diharapkan dapat mendorong mahasiswa untuk terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuan, sikap dan perilaku. Melalui proses pembelajaran dengan keterlibatan aktif mahasiswa ini berarti dosen tidak mengambil hak anak untuk belajar dalam arti yang sesungguhnya. Dalam proses SCL, maka mahasiswa memperoleh kesempatan dan fasilitas untuk membangun sendiri pengetahuannya sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang mendalam , dan pada akhimya dapat meningkatkan mutu kualitas mahasiswa. Pembelajaran yang inovatif dengan metode SCL memiliki    keragaman    model    pembelajaran    yang   menuntut partisipasi aktif dari mahasiswa Metode-metode tersebut diantaranya adalah: (a). Berbagi informasi (Information Sharing) dengan cara: curah gagasan (brainstorming), kooperatif, kolaboratif, diskusi kdompok (group discussion), diskusi panel (panel discussion), simposium, dan seminar; (b). Belajar daripengalaman (Experience Based) dengan cara simulasi, bermain peran (roleplay), permainan (game), dan kelompok temu; (c). Pembelajaran melalui Pemecahan Masalah (Problem Solving Based) dengan cara: Studi kasus, tutorial, dan lokakarya  Metode   SCL kini dianggap lebih sesuai dengan kondisi ekstemal masa kini yang menjadi tantangan bagi mahasiswa untuk mampu mengambil keputusan secara efektif terhadap problematika yang dihadapinya. Melalui penerapan SCL  mahasiswa harus berpartisipasi secara aktif, selalu ditantang untuk memiliki daya kritis, mampu menganalisis dan dapat memecahkan masalah-masalahnya sendiri. Tantangan bagi dosen sebagai pendamping pembelajaran siswa, untuk dapat menerapkan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa perlu memahami tentang konsep, pola pikir, filosofi, komitmen metode, dan strategi pembelajaran. Untuk menunjang kompetensi dosen dalam proses pembelajaran berpusat pada mahasiswa maka diperlukan peningkatan pengetahuan, pemahaman, keahlian, dan ketrampilan dosen sebagai fasititator dalam pembelajaran berpusat pada siswa. Peran dosen dalam pembelajar berpusat pada mahasiswa bergeser dari semula menjadi pengajar (teacher) menjadi fasilitator. Fasilitator adalah orang yang memberikan fasilitasi. Dalam hal ini adalah memfasil tasi proses pembelajaran siswa. Dosen menjadi mitra pembelajaran yang berfungsi sebagai pendamping (guide on the side) bagi siswa.
SCL - Layout Kelas SCL
SCL - Layout Kelas SCL
Persiapan menjadi fasititator memerlukan upaya khusus yang berkesinambungan. Selain bekal pengetahuan, juga diperlukan latihan-latihan yang terus menerus agar supaya pengetahuan itu menjadi ketrampilan. Ibarat orang membuat kue, tidak cukup hanya dengan mengumpulkan bahan-bahan dan membaca resep, tetapi juga harus meramu sesuai resepnya, kemudian memasaknya. Bahkan kadang-kadang diperlukan cara yang berbeda, dan penambahan bahan-bahan dengan prosedur yang tepat sehingga dihasilkan kue yang lezat. Demikian pula menjadi fasilitator, selain persiapan pengetahuan, latihan-latihan, juga perlu pengalaman. Melalui pengalaman dan praktek menjadi fasilitator maka akan diperoleh tambahan bekal yang semakin banyak sehingga kita akan dapat menemukan sendiri cara yang tepat, efektif, dan efisien dalam memfasilitasi proses pembelajaran mahasiswa

Latar Belakang SCL
Dalam laporan kepada Unesco dari Komisi Internasional tentang Pendidikan Untuk Abad XXII (1996), disebutkan bahwa dalam pengembangan pendidikan seumur hidup harus berlandaskan pada 4 pilar. (Delors, 1996):
  • Belajar Mengetahui, memadukan antara kesempatan untuk memperoleh pengetahuan umum yang cukup luas dengan kesempatan untuk bekerja pada sejumlah subyek yang lebih kecil secara lebih mendalam. Dalam tahap ini, kesempatan untuk mengembangkan sikap dan cara belajar untuk belajar (Learning to learn) lebih penting daripada sekedar memperoleh informasi. Peserta didik bukan hanya disiapkan untuk dapat menjawab permasalahan dalam jangka dekat, tetapi untuk mendorong mereka untuk memahami, mengembangkan rasa ingin tahu intelektual, merangsang pikiran kritis serta kemampuan mengambil keputusan secara mandiri, agar dapat menjadi bekal sepanjang hidup. Belajar jenis ini dapat dilakukan melalui kesempatankesempatan berdiskusi, melakukan percobaan-percobaan di laboratorium, menghadiri pertemuan ilmiah serta kegiatan ekstrakurikuler atau berorganisasi.
  • Belajar Berbuat, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk tidak hanya memperoleh ketrampilan kerja, tetapi juga memperoleh kompentensi untuk menghadapi pelbagai situasi serta kemampuan bekerja dalam tim, berkomunikasi, serta menangani dan menyelesaikan masalah dan perselisihan. Termasuk didalam pengertian ini adalah kesempatan untuk memperoleh pengalaman dalam bersosialisasi
    maupun bekerja di luar kurikulum seperti magang kerja, aktivitas pengabdian masyarakat, berorganisasi serta mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah dalam konteks lokal maupun nasional, ataupun dikaitkan dengan program belajar seperti praktek kerja lapangan, kuliah kerja nyata atau melakukan penelitian bersama.
  • Belajar Hidup Bersama, mengembangkan pengertian atas diri orang lain dengan cara mengenali diri sendiri serta menghargai ke-saling-tergantung-an, melaksanakan proyek bersama dan belajar mengatasi konflik dengan semangat menghargai nilai pluralitas, saling-mengerti dan perdamaian. Kesempatan untuk menjalin hubungan antara pendidik dan peserta didik, dorongan dan penyediaan waktu yang cukup untuk
    memberi kesempatan bekerjasama dan berpartisipasi dalam kegiatan budaya, olahraga, serta keterlibatan dalam organisasi sosial maupun profesi diluar kampus.
  • Belajar menjadi seseorang, mengembangkan kepribadian dan kemampuan untuk bertindak secara mandiri, kritis, penuh pertimbangan serta bertanggung jawab. Dalam hal ini pendidikan tak bisa mengabaikan satu aspek pun dari potensi seseorang seperti ingatan, akal sehat, estetika, kemampuan fisik serta ketrampilan berkomunikasi.
    Telah banyak diakui bahwa sistem pendidikan formal saat ini cenderung untuk memberi tekanan pada penguasaan ilmu pengetahuan saja yang akhirnya merusak bentuk belajar yang lain. Kini telah tiba saatnya untuk memikirkan bentuk pendidikan secara menyeluruh, yang dapat menggiring terjadinya perubahan–perubahan kebijakan pendidikan di masa akan datang, dalam kaitan dengan isi maupun metode.
Era globalisasi serta perkembangan teknologi informasi telah menimbulkan perubahan-perubahan yang sangat cepat di segala bidang. Batasan wilayah, bahasa dan budaya yang semakin tipis, serta akses informasi yang semakin mudah menyebabkan ilmu pengetahuan dan keahlian yang diperoleh seseorang menjadi cepat
usang. Persaingan yang semakin tajam akibat globalisasi serta kondisi perekonomian yang mengalami banyak kesulitan, terutama di Indonesia, membutuhkan sumber daya manusia yang kreatif, memiliki jiwa enterpreneur serta kepemimpinan. Pendidikan yang menekankan hanya pada proses transfer ilmu pengetahuan tidak lagi relevan, karena hanya akan menghasilkan sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan masa lampau,
tanpa dapat mengadaptasinya dengan kebutuhan masa kini dan masa depan.
Student-Centered Learning, yang menekankan pada minat, kebutuhan dan kemampuan individu, menjanjikan model belajar yang menggali motivasi intrinsik untuk membangun masyarakat yang suka dan selalu belajar. Model belajar ini sekaligus dapat mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan masyarakat seperti kreativitas, kepemimpinan, rasa percaya diri, kemandirian, kedisiplinan, kekritisan dalam berpikir, kemampuan berkomunikasi dan bekerja dalam tim, keahlian teknis, serta wawasan global untuk dapat selalu beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan.
Pengertian SCL
Berikut ini beberapa pengertian SCL dari berbagai  literatur
  • Rogers (1983), SCL merupakan hasil dari transisis perpidahan kekuatan dalam proses pembelajaran, dari kekuatan dosen sebagai pakar menjadi kekuatan mahasiswa sebagai pembelajar. Perubahan ini terjadi setelah banyak harapan untuk memodifikasi atmosfer pembelajaran yang menyebabkan siswa menjadi pasif, bosan dan resisten.
  • Kember (1997), SCL merupakan sebua kutub proses pembelajaran yang menekankan mahasiswa sebagai pembangun pengetahuan sedangkan kutub yang lain adalah dosen sebagai agen yang memberikan pengetahuan.
  • Harden dan Crosby (2000), SCL menekankan pada Mahasiswa sebagai pembelajar dan apa yang dilakukan siswa untuk sukses dalam belajar dibanding dengan apa yang dilakukan oleh guru.
Dari berbagai definisi tersebut dapat dipahami bahwa Student Centered Learning (SCL) adalah suatu model pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai pusat dari proses belajar. Model pembelajaran ini berbeda dari model belajar Instructor-Centered Learning yang menekankan pada transfer pengetahuan dari guru ke murid yang relatif bersikap pasif.
Dalam menerapkan konsep Student-Centered Leaning, peserta didik diharapkan sebagai peserta aktif dan mandiri dalam proses belajarnya, yang bertanggung jawab dan berinitiatif untuk mengenali kebutuhan belajarnya, menemukan sumber-sumber informasi untuk dapat menjawab kebutuhannya, membangun serta mempresentasikan pengetahuannya berdasarkan kebutuhan serta sumber-sumber yang ditemukannya. Dalam batas-batas tertentu mahasiswa dapat memilih sendiri apa yang akan dipelajarinya .
Dengan anggapan bahwa tiap mahasiswa adalah individu yang unik, proses, materi dan metode belajar disesuaikan secara fleksibel dengan minat, bakat, kecepatan, gaya serta strategi belajar dari tiap peserta didik. Tersedianya pilihan-pilihan bebas ini bertujuan untuk menggali motivasi intrinsik dari dalam dirinya sendiri untuk belajar sesuai dengan kebutuhannya secara individu, bukan kebutuhan yang diseragamkan.
Sebagai ganti proses transfer ilmu pengetahuan, peserta didik lebih diarahkan untuk belajar ketrampilan Learn how to learn seperti problem solving, berpikir kritis dan reflektif serta ketrampilan untuk bekerja dalam tim.
Evaluasi bukan merupakan evaluasi standar yang berlaku untuk seluruh mahasiswa, tetapi lebih bersifat individu sepanjang proses pendidikannya. Pembuatan portfolio bagi mahasiswa merupakan salah satu bentuk evaluasi mahasiswa sepanjang proses belajar. Peran serta dosen, mahaiswa serta orang tua sangatlah dibutuhkan dalam merencanakan proses belajar serta proses dan bentuk evaluasi

Model Pembelajaran SCL
Materi dan model penyampaian pembelajaran dalam SCL secara lengkap meliputi 3 aspek, yaitu (1) isi ilmu pengetahuan (IPTEK), (2) sikap mental dan etika yang dikembangkan, dan (3) nilai-nilai yang diinternalisasikan kepada para mahasiswa. Di dalam proses SCL terdapat hubungan “tarik-menarik” antara learner support dan learner control. Hubungan tadi dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Hal-hal yang Perlu dipersiapkan dalam SCL
Beberapa hal utama yang perlu disiapkan adalah:
Perubahan Sikap dan Peranan Dosen
Dalam konsep belajar Instructor-Centered Learning, dosen memainkan peranan utama dalam mentransfer ilmu pengetahuan ke peserta didik. Dosen harus mempersiapkan materi selengkap mungkin, menerangkan secara searah. Mahasiswa akan menerima secara pasif materi yang diberikan dengan mencatat serta menghafal. Dengan demikian sumber belajar utama adalah dosen. Dengan menerapkan konsep SCL, sebagian beban dalam mempersiapkan serta mengkomunikasikan materi berpindah ke mahasiswa yang harus pula berperan secara aktif. Dosen bukan lagi tokoh sentral yang tahu segalanya. Tidak berarti bahwa tugas dosen menjadi lebih ringan atau tidak lagi penting. Dosen tetap memainkan peran utama dalam proses belajar, tetapi bukan sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Melalui pelbagai metode, seperti diskusi, pembahasan masalah-masalah nyata, proyek bersama, belajar secara kooperatif , serta tugas-tugas mandiri, dosen akan lebih dituntut sebagai motivator, dinamisator dan fasilitator, yang membimbing, mendorong, serta mengarahkan peserta didik untuk menggali persoalan, mencari sumber jawaban, menyatakan pendapat serta membangun pengetahuan sendiri. Dalam perubahan peranan ini, dibutuhkan kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi serta keterbukaan dari pendidik untuk dapat menjalin hubungan secara individu, untuk dapat mengerti serta mengikuti perkembangan dari masing-masing peserta didik, disamping tentunya wawasan yang luas dalam mengarahkan peserta didik ke sumber-sumber belajar yang dapat digali. Hati dan ilmu menjadi tuntutan bagi pendidik dalam menerapkan konsep SCL.
Perubahan Metode Belajar
Jika seorang berpikir bahwa ia sedang bersenang-senang ketika ia sedang belajar, maka ia akan lupa bahwa ia sedang belajar dan dengan sendirinya akan menikmati dan mendapatkan banyak manfaat (Burns, 1997). Ungkapan ini merupakan ungkapan yang sering terlupakan oleh pendidik. Penerapan kedisiplinan dengan cara yang salah, kurikulum standar dan sebagainya yang membuat anak tidak memiliki pilihan sendiri tentunya tidak akan membuat peserta didik merasa sedang bersenang-senang, karena tidak sesuai dengan apa yang disukainya.
Beberapa metode belajar yang mengacu pada belajar secara alamiah dan mengacu pada keunikan individu yang perlu dikembangkan adalah collaborative learning, problembased learning, portfolio, team project, resource-based learning. Metode-metode ini menekankan pada hal-hal seperti kerjasama tim, diskusi, jawaban-jawaban terbuka, interaktivitas, mengerjakan proyek nyata bukan hanya menghafal, serta belajar cara untuk belajar, bukan hanya memperoleh ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Akses ke Pelbagai Sumber Belajar
Untuk menunjang metode belajar yang memberi kesempatan bagi peserta didik untuk mengenali permasalahan, serta menggali informasi sebanyak mungkin secara mandiri, akses informasi tidak boleh lagi dibatasi hanya pada guru, buku wajib serta perpustakaan lokal saja. Peserta didik perlu ditunjang dengan akses tanpa batas ke pelbagai sumber informasi, antara lain industri, organisasi sosial maupun profesi, media massa, para ahli dalam bidang masing-masing, bahkan dari masyarakat, keluarga maupun sesama peserta didik. Perkembangan teknologi informasi bahkan memungkinkan tersedianya akses ke pelbagai informasi global ke seluruh dunia, melalui akses ke perpustakaan maya , museum maya, pangkalan-pangkalan data di web, atau bahkan kemungkinan untuk dapat berhubungan langsung dengan para ahli internasional.
Penyediaan Infrastruktur Yang Menunjang
Untuk mendukung perubahan serta kebutuhan yang diperlukan dalam menerapkan konsep SCL secara maksimal, perlu adanya infrastruktur yang menunjang. Jaringan kerjasama antar institusi baik pendidikan maupun non pendidikan secara nasional, regional maupun internasional akan sangat mendukung terbukanya kesempatan untuk belajar diluar batasan dinding sekolah atau budaya sehingga lebih memperkaya pengertian akan perbedaan sekaligus menambah wawasan ilmu pengetahuan menjadi lebih tak terbatas. Fasilitas pendamping pendidikan seperti perpustakaan, museum sekolah, laboratorium, pusat komputer maupun layanan administrasi yang memudahkan, responsif, simpatik, serta mengacu pada kepuasan dan kebutuhan peserta didik, akan sangat
mendukung terciptanya budaya SCL.
SCL - Student Centered Learning
Pemanfaatan teknologi informasi, seperti komputer, telekomunikasi dan jaringan baik dalam kampus maupun luar kampus seperti Internet, merupakan pendukung yang sangat penting dalam menunjang terciptanya fleksibilitas dalam memilih tempat dan waktu belajar, menghubungkan peserta didik dengan akses ke sumber belajar yang luas, kolaborasi serta komunikasi antar dosen dan mahasiswa, orang tua, sesama mahasiswa maupun para ahli. Teknologi informasi yang memiliki keunggulan dalam hal komunikasi dan interaktivitas tanpa batasan waktu dan tempat, serta kemampuan multimedia yang sekaligus menampilkan teks, gambar, suara dan gerak, merupakan media yang menarik baik bagi seorang anak maupun dewasa.

Prinsip-Prinsip Psikologi SCL

Bekal bagi para dosen untuk dapat menjalankan perannya sebagai fasititator salah satunya adalah memahami prinsip pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Ada limafaktor yang penting dipematikan dalam prinsip psikologis pembelajaran berpusat pada mahasiswa, yaitu: (a) Faktor Metakognitif dan kognitif yang menggambarkan bagaimana mahasiswa berpikir dan mengingat, serta penggambaran faktor-faktor yang terlibat dalam proses pembentukan makna informasi dan pengalaman; (b) Faktor Afektif yang men ggambar akan bagaimana keyakinan, emosi, dan motivasi mempengaruhi cara seseorang menerima situasi pembelajaran, seberapa banyak orang belajar, dan usaha yang mereka lakukan untuk mengikuti pembelajaran. Kondisi emosi seseorang, keyakinnannya tentang kompetensi pribadinya, harapannyaterhadap kesuksesan, minat pribadi, dan tujuan belajar, semua itu mempengaruhi bagaimana motivasi mahasiswa untuk belajar; (c) Faktor Perkembangan yang menggam-barkan bahwa kcndisi fisik, intelektual, emosional, dan sosial dipengaruhi deh faktor genetik yang unik dai faktor lingkungan; (d) Faktor Pribadi dan sosial yang menggambarkan bagaimana orang lain berperan dalam proses pembelajaran dan cara-cara orang belajar dalam kelompok. Prinsip ini mencerminkan bahwa dalam interaksi sosial, orang akan saling belajar dan dapat saling menolong melalui saling berbagi perspektif individual; (e). Faktor Perbedaan Individual yang menggambarkan bagaimana latar belakang individu yang unik dan kapasitas masing-masing berpengaruh dalam pembelajaran. Prinsip ini membantu menjelaskan mengapa individu mempelajari sesuatu yang berbeda, waktu yang berbeda, dan dengan cara-carayang berbeda pula Berikut akan diuraikan penjabaran masing-masing faktor.

Faktor Metakognitif dan Kognitif

Prinsip 1: Dasar proses pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu proses alamiah untuk mencapai tujuan yang bermakna secara pribadi, bersifat aktif, dan melalui mediasi secara internal, merupakan proses pencarian dan pembentukan makna terhadap informasi dan pengalaman yang disaring melalui persepsi unik, pemikiran, dan perasaan siava (siava).
Prinsip 2: Tujuan proses pembelajaran. mahasiswa mencari untuk menciptakan makna, representasi pengetahuan melalui kuantitas dan kualitas data yang tersedia.
Prinsip 3: Pembentukan pengetahuan. mahasiswa mengkaitkan informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya yang telah dimiliki melalui cara-cara yang unik dan penuh makna.
Prinsip 4: Pemikiran tingkat tinggi. Startegi tingkat tinggi untuk “Berikir tentang berpikir”- untuk memantau dan memonitor proses mental, memfasilitasi kreativitas dan berpikir kritis.
Faktor Afektif
Prinsip 5: Pengaruh motivasi dalam pembdajaran. Kedalaman dai keluasan informasi diproses, serta apa dan seberapa banyak hal itu dipelajari dan diingat dipengaruhi oleh: (a).kesadaran diri dan keyakinan kontrol diri, kompetensi, dan kemampuan, (b). kejelasan nilai-nilai personal, minat, dan tujuan, (c). harapan pribadi terhadap kesuksesan dan kegagalan, (d). afeksi, emosi, dan kondisi pikran secara umum, dan (e) tingkat motivasi untuk belajar.
Prinsip 6: Motivasi intrinsik untuk belajar. Individu pada dasarnya memiliki rasa ingtn tahudan menikmati pembelajaran, tetapi pemikirai dan emosi negatif (misalnya perasaan tidak aman, takut gagal, malu, ketakutan mendapat hukuman, atau pelabelan/stigmatisasi) dapat mengancam antusiasme mereka.
Prinsip 7: Karakteristik tugas-tugas pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi. Rasa ingn tahu, kreativitas, dan berpikir tingkat tinggi dapat distimulasi melalui tugas-tugas yang relevan, otentik yang memiliki tingkat kesulitan dan kebaruan bagi masing-masing siswa
Faktor Perkembangan
Prinsip 8: Kendala dan peluang perkembangan. Kemajuan individual dipengaruhi perkembangan fase-fase fisik, intelektual, emosional, dan sosial yang merupakan fungsi genetis yang unik serta pengaruh faktor lingkungai.
Faktor Personal Dan Sosial
Prinsip 9: Keberagaman sosial dan budaya. Pembelajaran difasilitasi oleh interaksi sosial dan komunikasi dengan orang lain melalui seting yang fleksibel, keberagaman (usia, budaya, latar belakang keluarga, dsb) dan instruksional yang adaptif.
Prinsip 10: Penerimaan sosial, harga diri, dan pembelajaran. Pembelajaran dan harga diri sangat terkait ketika individu dihargai dan dalam hubungan yang saling peduli satu dengan yang lain sehingga mereka dapat saling mengetahui potensi, menghargai bakat-bakat unik dengan tulus, dan menerima mereka saling dapat menerima sebagai individu.
Faktor Perbedaan Individu
Prinsip 11: Perbedaan individual dalam pembelajaran. Meskipun prinsisp-prinsip dasar pembelajaran, motivasi, dan instruksi afeksi berpengaruh terhadap semua mahasiswa (termasuk suku, ras, jender, kemampuan fisik, agama, dan status sosial), siava memiliki perbedaan kemampuan dan preferensi dalam model dan strategi pembelajaran. Perbedaan-perbedaan ini merupakan pengaruh dari lingkungan (apa yang dipelajari dan dikomunikasikan dalam budaya dan kelompok sosial yang berbeda) dan keturunan (apa yang muncul sebagai fungsi genetis).
Prinsip 12: Filter kognitif. Keyakinan personal, pemikiran, dan pemahaman berasal dari pembelajaran dan interpretasi sebelumnya, hal ini dapat menjadi dasar individual dalam pembentukan realitas dan interpretasi pengalaman hidup.

Karakteristik dosen dalam SCL

Dosen yang menerapkan SCL harus memiliki karakteristik sebagai berikut:
  • SCL - MentorkuMengakui dan menghargai keunikan masing-masing mahasiswa dengan cara mengako modasi pemikiran mahasiswa, gaya belajarnya, tingkat perkembangannya, kemampuan, bakat, persepsi diri, serta kebutuhan akademis dan non akademis mahasiswa.
  • Memahami bahwa pembelajaran adalah suatu proses konstruktivis, oleh karena itu harus diyaMnkan bahwa mahasiswa diminta untuk mempelajari sesuatu yang relevan dan bermaknabagi diri mereka. Selain itu juga mencoba mengembangkan pengalaman belajar dimana mahasiswa dapat secara aktif menciptakan dan membangun pengetahuannya sendiri serta mengkaitkan apa yang sudah diketahuinya dengan  pengalaman yang diperoleh.
  • Menciptakan iklim pembelajaran yang positif dengan cara memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk berbicara dengannya secara personal, memahami siswa dengan sebaik-baiknya, menciptakan lingkungan yang nyaman dan menstimulasi bagi siswa, memberikan dukungan pada siswa, mengakui dan menghargai siswa
  • Memulai pembelajaran dengan asumsi dasar bahwa semua mahasiswa dengan kondisinya masing-masing bersedia untuk belajar dan ingin melakukan dengan sebaik-baiknya, serta memiliki minat intrinsik untuk memperkaya kehidu-pannya.
Dosen-dosen   yang   menggunakan   SCL cenderung menciptakan lingkungan pembelajaran dengan ciri-ciri sebagai berikut:
  • Suasana kelas yang hangat, mendukung. Dalam susana ini, dosen mengijinkan mahasiswa untuk mengenalnya dan selanjutnya akan menyukainya. Kalau dosen disukai oleh mahasiswa maka mahasiswa akan bersedia bekerja keras untuk orang yang disukainya.
  • Para mahasiswa diminta untuk hanya mengerjakan pekerjaan yang bermanfaat. Dosen  harus menjelaskan manfaat apa yang akan diperoleh mahasiswa jika mereka mengerjakan apa yang diminta oleh dosen. Informasi ini akan menjadi berguna jika secara langsung dikaitkan dengan ketrampilan hidup yang diperlukan mahasiswa, sehingga mahasiswa terdorong untuk melakukannya dan dosen meyakini bahwa hal itu sungguh bermanfaat atau diperlukan oleh mahasiswa ketika mereka nanti bekerja.
  • Mahasiswa selalu diminta untuk mengerjakan yang terbaik yang mereka dapat lakukan. Kondisi kualitas pekerjaan termasuk didalamnya adalah pengetahuan mahasiswa tentang dosennya dan apa yang diharapkannya serta keyakinannya bahwa dosen memberikan kepedulian untuk membantunya, keyakinan bahwa tugas yang diberikan dosen itu selalu bermanfaat, keinginan yang kuat untuk berusaha dengan
    sekuatnya untuk mengerjakan tugasnya sebaik-baiknya, dan mengetahui bagaimana pekerjaannya itu akan dievaluasi dan ditingkatkan kualitasnya.
  • Para mahasiswa diminta untuk mengevaluasi pekerjaannya. Evaluasi diri diperlukan untuk menilai kualitas pekerjaan yang tdah dilakukan oleh para aswa, semua siswa harus mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan dievaluasi, berdasarkan hasil eveluasi itulah mahasiswa tahu bagaimana kualitas pekerjaannya dapat
    ditingkatkan serta dapat mengulangi prosesnya sampai kualitas terbaik dapat dicapai.
  • Kualitas pekerjaan yang baik selalu menimbulkan perasaan senang Para siswa merasa senang ketika mereka menghasilkan pekerjaan yang berkualitas baik, dan demikian pula dengan orangtuanya serta dosennya. Perasaan senang ini juga merupakan insentif untuk meningkatkan kualitas
  • Pekerjaan yang berkualitas tidak pernah destruktif. Pekerjaan yang berkualitas tidak pemah dicapai melalui pekerjaan yang merusak seperti misalnya menggunakan Narkoba (meskipun kadang dirasa menimbulkan rasa senang) atau menyakiti oranglain, merusak lingkingan, dsb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa pendapat Anda dengan Blog ini?

Pengikut