SELAMAT DATANG DI BLOG HARYOTO SUNGAILIAT BANGKA

Kamis, 04 Juni 2009

Otonomi Daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

OTONOMI PENDIDIKAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
OTONOMI PENDIDIKAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Buat halaman ini dlm format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Senin, 22 Desember 2008
Otonomi pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Oleh : Indrawadi, S.Si, M.AP



Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia juga berimbas pada pelaksanaan otonomi dibidang pendidikan yang sebetulnya telah lama diamanat dalam UU No. 30 tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional yang telah diganti dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun bagaimana implikasi dari pelaksanaan Otonomi bidang pendidikan tersebut di daerah selalu menjadi suatu polemik dan pertentangan berbagai pihak. Demikian juga yang terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah dibidang pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
'; writethis(jsval);//-->

BAB I

PENDAHULUAN


I.1. Latar Belakang

Berdasarkan amanat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa ”setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak”, Pemerintah berusaha memenuhi kewajibannya untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi masyarakatnya. Kondisi Pendidikan kita memang



Abad XXI merupakan abad di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi berkembang sangat pesat. Perkembangan yang pesat itu menyebabkan semakin derasnya arus informasi dan terbukanya pasar internasional yang berdampak pada persaingan bebas yang begitu ketat dalam segala aspek kehidupan. Bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat global, tidak-bisa-tidak telah memasuki abad yang penuh persaingan bebas itu, bahkan dalam skala Asia telah masuk sebagai anggota Asian Free Trade Area (AFTA) dan Asian Free Labour Area (AFLA). Hal tersebut berarti bangsa Indonesia dituntut untuk mampu mengikuti persaingan bebas, paling tidak dalam perdagangan. Konsekuensi logisnya adalah, bahwa keberadaan sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan memadai di masa yang akan datang menduduki posisi penting dan strategis.



Saat ini berdasarkan Human Development Index (HDI) yang dipublikasikan UNDP, bangsa Indonesia menempati urutan ke 109 dari 173 negara di dunia, bahkan di bawah Vietnam, yang menempati peringkat 108. Oleh karena itu, kebutuhan sumber daya manusia unggul yang menguasai berbagai jenis keterampilan, keahlian profesional, serta ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan suatu hal mutlak, karena hanya dengan keunggulan tersebut bangsa Indonesia dapat menggerakkkan berbagai sektor secara lebih efisien dan efektif.



Dewasa ini pendidikan persiapan kerja merupakan salah satu program Departemen Pendidikan Nasional yang menempati prioritas tertinggi. Berbagai inovasi dalam kebijaksanaan mengenai pendidikan dalam fungsinya sebagai persiapan kerja terus dilakukan terhadap pendidikan kejuruan dan pendidikan profesional, sehingga benar-benar berfungsi untuk menyiapkan tenaga kerja terampil dan ahli sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Pendidikan kejuruan dan profesi juga diperluas, sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara merata. Dengan kesempatan memperoleh pendidikan kejuruan yang semakin meluas dan merata, maka diharapkan dapat dicapai pemerataan dalam memperoleh keterampilan dan keahlian sebagai landasan untuk meningkatkan pemerataan memperoleh pendapatan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.



Memperhatikan penting dan peranannya yang demikian besar tersebut, dibutuhkan kondisi lingkungan yang kondusif. Peluang tersebut terbuka lebar dengan dilahirkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Kondisi ini memberi kesempatan yang sangat luas dalam hal pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otonomi daerah), karena dengan lahirnya undang-undang tersebut berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat. Demikian pula peran pemerintahan pusat yang bersifat sentralistis yang telah berlansung selama lebih dari 50 tahun akan lebih diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada daerah (desentralisasi).



Khusus di bidang pendidikan, meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun tanggung jawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini Pemerintah (pusat) menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Sementara pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan menyediakan fasilitas pendidikan lintas kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.



Mengacu pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan, penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan dari prinsip pendidikan yang diselenggarakan oleh, untuk, dan dari masyarakat, yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sebagai pemenuhan atas ciri khas yang berkenaan dengan nilai-nilai sosial dan kultural pada masyarakat tertentu.



Bagi masyarakat Kepulauan Bangka Belitung, undang-undang otonomi daerah tersebut memberi peluang yang sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat Kepulauan Bangka Belitung untuk dapat mengatur dan mengelola daerahnya sendiri, sesuai dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki.



Seiring dengan semangat otonomi daerah, dunia pendidikan mengalami perubahan padigma dari sentralisasi menuju desentralisasi dan otonomi pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perubahan paradigma tersebut sampai ke tingkat satuan pendidikan yang terkecil, yaitu sekolah. Untuk itu penulis mencoba untuk memaparkan bentuk pelaksanaan otonomi dibidang pendidikan pada Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.



I.2. Permasalahan

Permasalahan yang penulis coba untuk disampaikan pada kesempatan ini yaitu “bagaimana bentuk pelaksanaan otonomi dibidang pendidikan pada Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, apa saja kendala yang dihadapi pada tingkat pelaksanaannya dan bagaimana alternative pemecahan masalahnya”.



BAB II

LANDASAN TEORI DAN KONSEPTUAL



II.1. Pengertian Desentralisasi

Terminologi desentralisasi tidak hanya memiliki satu makna. Ia dapat diterjemahkan kedalam sejumlah arti tergantung pada konteks penggunaannya. Berdasarkan perspektif politik, kata desentralisasi telah digunakan untuk menjelaskan mekanisme penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Mekanisme ini untuk selanjutnya disebut dengan desentralisasi politik. Sementara itu, dari sudut pandang administrasi publik, desentralisasi didefinisikan sebagai pendelegasian otoritas administrasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang selanjutnya disebut dengan desentralisasi administrasi.



Parsons (1991) seperti yang dikutip oleh Dr. Syarif Hidayat dalam Too Much Too Soon (2007) mendefinisikan desentralisasi sebagai berbagi (sharing) kekuasaan pemerintahan antara kelompok pemegang kekuasaan di pusat dengan kelompok-kelompok lainnya, dimana masing-masing kelompok tersebut memiliki otoritas untuk mengatur bidang-bidang tertentu dalam lingkup teritorial suatu negara.



Smith (1985) juga merumuskan definis desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan dari tingkatan (organisasi) lebih atas ke tingkatan lebih rendah, dalam suatu hierarki teritorial, yang dapat saja berlaku pada organisasi pemerintahdalam suatu negara, maupun pada organisasi-organisasi besar lainnya.



Rondinelli dan Cheema (1983) seperti yang dikutip oleh Dr. Syarif Hidayat dalam Too Much Too Soon (2007) merumuskan definisi desentralisasi dalam bukunya yang berjudul Decentralization dan Development : Policy Implementation in Developing Countries bahwa desentralisasi adalah penyerahan (wewenang) perencanaan, pengambilan keputusan, dan/atau wewenang administratif (administrative authotities) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, organisasi vertikal pemerintah pusat di daerah, unit-unit pelaksana administratif di daerah, organisasi-organisasi semi otonom dan/atau organisasi non pemerintah.



Rondinelli dan kawan-kawan lebih luas mengungkapkan jenis desentralisasi (dalam MR Khairul Muluk, 2005:6) yakni deconcentration (penyerahan sejumlah wewenang atau tanggung jawab administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah dalam kementrian atau badan pemerintahan), delegation (perpindahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi di luar struktur birokrasi reguler dan hanya dikontrol pemerintah pusat secara tidak langsung), devolution (pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintahan subnasional dengan aktivitas yang secara substansial berada diluar kontrol pemerintah pusat) dan privatization (memberikan semua tanggungjawab atau fungsi-fungsi kepada organisasi non pemerintah atau perusahaan swasta yang independen dari pemerintah).



Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.



II.2. Pengertian Pemerintah Daerah, Daerah Otonom dan Otonomi Daerah

Pemerintahan daerah (local Government) merupakan konsenkuensi adanya desentralisasi. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa :

”Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas ekonomi dan tugas perbantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.



Yang dimaksud dengan pemerintah daerah dalam Undang-Undang Tersebut yaitu :

”Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah daerah”.



Jadi pemahaman Pemerintahan Daerah (Local Governvent) yang diterapkan di Indonesia sangat berbeda pengertian dengan pemahaman local state (negara bagian) yang diberikan otonomi tanpa adanya campur tangan dari pemerintah pusat seperti yang diterapkan di Amerika Serikat atau local autonomi yang lebih bermakna lokalitas atau masyarakat setempat.



Lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan dalam Pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan Otonomi daerah dan Daerah Otonom adalah sebagai berikut :

” Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”



”Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sisten Negara Kesatuan Republik Indonesia”.



Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian pemerintah daerah di Republik Indonesia adalah sebagai pelaksana penyelenggaraan pemerintahan pada batas-batas wilayah kewenangannya untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak, wewenang dan kewajiban sesuai dengan wewenang yang diserahkan oleh pemerintah pusat menurut prakarsa sendiri dan berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.



II.3. Otonomi Pendidikan

Pada pasal 13 ayat (1) dan pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota salah satunya adalah Penyelenggaraan Pendidikan. H.A.R Tilaar (2002 : 6-7) menyatakan bahwa pelaksanaan desentralisasi sistem pendidikan nasional berarti memberikan keleluasaan yang besar kepada pemerintah daerah dan hal ini sesuai pula dengan kebijakan nasional untuk melaksanakan otonomi daerah bahkan sampai ke tingkat Kabupaten/Kota.



Kita sudah sepakat bahwa desentralisasi pemerintahan di Indonesia sudah perlu dilaksanakan sejalan dengan keinginan reformasi pilitik yang kita inginkan ialah semakin besar partisipasi langsung dari rakyat. Reformasi politik meminta reformasi pendidikan karena dengan demikian partisipasi langsung dari rakyat dapat dilaksanakan.





BAB III

PEMBAHASAN



III.1 Sekilas Tentang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan provinsi ke-30 di Republik Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Wilayah provinsi ini meliputi dua pulau besar, yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung dan pulau-pulau kecil lainnya yang terletak di sekitar pulau tersebut dengan batas wilayah sebelah utara dibatasi oleh laut Cina Selatan, sebelah selatan dibatasi oleh Laut Jawa, sebelah timur dibatasi oleh selat Gaspar yang memisahkan Pulau Belitung dengan Kalimantan Barat dan sebelah barat dibatasi oleh selat Bangka yang memisahkan pulau Bangka dengan Sumatera.



Pada awal berdirinya, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari 2 Kabupaten dan 1 Kota, yaitu Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung dan Kota Pangkalpinang sebagai Ibukota Provinsi. Pada perkembangannya, Kabupaten Bangka dan Kebupaten Belitung dimekarkan menjadi 6 Kabupaten, yaitu Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur.



Melihat dari letaknya yang strategis secara geografis, ditambah dengan kekayaan alam berupa timah, kwarsa, hasil laut. pertanian dan keindahan alamnya tentu saja daerah ini memiliki arti yang ekonomis bagi pembangunan nasional. Dibawah kepemimpinan Drs. H. Hudarni Rani sebagai gubernur terpilih pertama, dan diteruskan oleh Gubernur kedua yang baru saja terpilih, yaitu Eko Maulana Ali M.Sc Provinsi ini mulai membangun untuk kesejahteraan masyarakatnya termasuk diantaranya pendidikan yang menjadi salah satu target utama pembangunan.



III.2. Pengelolaan Pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah salah satu perangkat daerah pada Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang membidangi Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diatur berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 yang salah satu tugasnya yaitu untuk melaksanakan pembinaan pengelolaan pendidikan usia dini, TK, SD, SMP dan SMA serta melaksanakan penyelenggaraan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus (PK dan PLK).



Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dibagi menjadi 4 (empat) sub dinas dan 1 (satu) bagian, yaitu Sub Dinas Pendidikan Dasar yang membidangi pendidikan TK, SD, SMP, SDLB dan SMPLB, Sub Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi yang membidangi pendidikan SMA, SMK, dan Perguruan Tinggi, Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olah Raga yang membidangi pendidikan luar sekolah, pemuda dan olah raga dan Sub Dinas Kebudayaan yang membidangi masalah kebudayaan serta Bagian Tata Usaha yang bertindak selaku Midle Line dan Suport Staf.



Berikut ini adalah struktur organisasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.



Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melaksanakan dua tugas utama, yaitu tugas Desentralisasi sebagai perangkat daerah, yaitu menyusun bahan kebijakan Gubernut dan tugas Dekonsentrasi yaitu melaksanakan kebijakan yang ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional.



Dalam pelaksanaan tugasnya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung selalu melakukan koordinasi dengan Dinas Pendidikan di Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terutama dalam penyelenggaraan pendidikan TK, SD, SMP, SMA dan SMK.



Salah satu kebijakan Departemen Pendidikan Nasional yang saat ini sedang digiatkan adalah pelaksanaan kebijakan Manajemen Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Kebijakan ini merupakan salah satu alternatif yang dipilih dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan. Namun pada tingkat pelaksanaannya masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan terutama dari kesiapan lembaga pendidikan, karena untuk melaksanakan kebijakan tersebut diperlukan persyaratan yang harus dipenuhi, terutama menyangkut sumber daya manusia, lingkungan sekolah dan masyarakat. Ketiga persyaratan tersebut harus sinergis satu sama lain. Tanpa dukungan masyarakat dan dukungan sekolah, MPMBS tidak akan mampu meningkatkan mutu sekolah dalam konteks desentralisasi pendidikan.



Sekolah pada umumnya telah mencoba melaksanakan kebijakan tersebut sesuai dengan bimbingan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Namun masih ada juga sekolah yang melaksanakan kebijakan tersebut dengan terpaksa dan hanya secara administratif saja. Sebagai contoh dengan dihapuskannya Badan Pembina Pelayanan Pendidikan (BP 3), maka sekolah diwajibkan memfasilitasi terbentuknya Komite Sekolah. BP 3 tadinya merupakan badan perwakilan orangtua dan wali murid dianggap tidak mampu mengakomudir partisipasi masyarakat di sekitar sekolah.



Dengan adanya Komite Sekolah yang anggotanya adalah masyarakat di sekitar sekolah dan orang tua/wali siswa diharapkan dapat menyerap partisipasi masyarakat, ternyata pada prakteknya tetap merupakan perwakilan orang tua/wali siswa di sekolah tanpa melibatkan masyarakat di sekitar sekolah. Hal ini tentu saja menyebabkan kesulitan dalam menyerap aspirasi masyarakat dalam pembinaan pendidikan di sekolah sehingga harapan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tanggungjawab pendidikan berada di tangan pemerintah, swasta dan masyarakat sulit untuk dipenuhi.







III.3. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Pendidikan.

Sistem pendidikan sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi yang terbuka. Oleh sebab itu Desentralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada masyarakat sebagai yang memiliki pendidikan itu sendiri. Masyarakat harus berpartisipasi dalam pembentukan social capital tersebut.



Dalam dunia pendidikan, salah satu cara melibatkan partisipasi masyarakat/publik dalam manajemen sekolah adalah dengan pembentukan Komite Sekolah yang anggotanya merupakan unsur masyarakat di lingkungan sekolah dan orangtua/wali siswa di sekolah. Pemilihan pengurus komite sekolah dilaksanakan secara demokratis melalui musyawarah dengan di fasilitasi oleh pihak sekolah. Komite sekolah ini berperan sebagai mitra kerja Kepala Sekolah dan berfungsi memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Kepala Sekolah dalam membuat keputusan diluar materi pembelajaran. Dalam hal ini Komite sekolah merupakan perwakilan kepentingan masyarakat di sekolah tersebut.



Untuk merangsang keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan di sekolah, Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota sepakat menyalurkan setiap bantuan pendidikan ke sekolah melalui mekanisme Subsidi dan harus dilaksanakan secara swakelola oleh sekolah dengan melibatkan partisipasi masyarakat.



Pada praktiknya, banyak pembetukan komite sekolah yang tidak melibatkan masyarakat di sekitar sekolah dalam keanggotaannya. Bahkan sebagian besar komite sekolah anggotanya hanya merupakan orang tua / wali siswa dan menjalankan fungsinya hanya sebagai unsur legal formal saja sehingga tak ubahnya dengan BP 3 yang ganti baju menjadi Komite Sekolah.



Selain itu, sulitnya menggalang partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan di sekolah juga disebabkan karena animo masyarakat yang cenderung mengatakan bahwa urusan sekolah hanyalah menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Sering kita temui bahwa banyak sekolah kondisi sekolah yang rusak ditengah-tengah perumahan mewah. Tidak ada sedikitpun keperdulian masyarakat di sekitar sekolah akan memperbaiki atau memberikan perhatian terhadap kondisi sekolah tersebut hanya dengan alasan ”anaknya tidak bersekolah di sekolah tersebut”.



Tim Rehabilitasi Gedung Sekolah dalam Laporan Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Gedung sekolah tahun 2006 melaporkan bahwa dalam suatu monitoring dan evaluasi pelaksanaan rehabilitasi gedung sekolah yang dilaksanakan oleh Tim Rehabilitasi Gedung Sekolah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bersama Tim Rehabilitasi Gedung Sekolah Kabupaten/Kota, ditemui suatu fakta yang menarik bahwa sebagian besar masyarakat di lingkungan sekolah menyatakan bahwa lebih baik berdiam diri dengan kondisi mutu sekolah yang ada. Ada dua alasan yang dikemukan, yaitu pertama karena faktor ketidakpercayaan (trusth) mereka dengan sistem pendidikan yang ada dan faktor kesibukan mereka serta ketidaktahuan mereka akan fungsi masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Hal ini membuat Dinas Pendidikan terutama di Kabupaten/Kota harus memprogramkan pelaksanaan sosialisasi pemberdayaan masyarakat dalam dunia pendidikan serta membangun kepercayaan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan di sekolah.



Berdasarkan hal diatas, dapat dikatakan bahwa proses mewujudkan partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan bukanlah mudah karena masyarakat belum terbiasa dengan partisipasi aktif dan sukarela. Muluk (2005) menjelaskan bahwa upaya melibatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah (termasuk juga pendidikan) merupakan hal yang penting karena Indonesia merupakan negara yang berada dalam masa transisi menuju demokrasi. Masyarakat sudah terbiasa dengan mobilized partizipation yang dipergunakan secara ekstensif pada masa orde baru dan orde lama.



Untuk itu tentu saja diperlukan upaya yang tak henti-hentinya dari pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan pemahaman akan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan khususnya dibidang pendidikan.



BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN



IV.1. Kesimpulan

Dari bahasan diatas penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan Otonomi Pendidikan dengan menjalan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah sebagai bentuk kebijakan Desentralisasi Pendidikan belum terlaksana secara optimal dengan kurangnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya.

2. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pembina pendidikan dengan melaksanakan bimbingan dalam penerapan kebijakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).

3. Kesulitan ekolah dalam melaksanakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah lebih disebabkan karena faktor sumber daya manusia yang kurang memadai dan juga karena faktor sosial, ekonomi dan budaya pada masyarakat yang masih mengganggap bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab pemerintah saja.



IV. 2. Saran

Dari kesimpulan diatas penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut :

1. Diperlukan pembinaan yang lebih insentif terhadap pengelola sekolah terkait dengan pelaksanaan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) baik oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota maupun Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi terutama mengenai pembentukan serta keterlibatan komite sekolah dalam pembangunan sekolah.

2. Perlu dilaksanakan sosialisasi kepada masyarakat mengenai tanggung jawab pendidikan serta peran serta masyarakat dalam dunia pendidikan.

3. Masyarakat dan dunia usaha di lingkungan sekolah perlu dilibatkan dalam setiap kegiatan pembangunan sekolah, baik melalui komite sekolah maupun secara langsung.



DAFTAR PUSTAKA



Hidayat, Syarif. 2007. ”Too Much Too Soon”. Jakarta : Rajagrafindo Persada, PT.



Muluk, M.R. Khairul. 2005. ”Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah”. Malang : Penerbit Bayumedia Publishing.



Setiani, Helis. 2004, “Analisis Implementasi Kebijakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) di Gugus 03 Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto”. Dalam Jurnal Ilmiah FIA Unibraw Malang.



Tilaar, H.A.R. 2002. “Membenahi Pendidikan Nasional”. Jakarta : Rineka Cipta, PT.



Tim Rehabilitasi Gedung Sekolah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2006. “Laporan Pelaksanaan Rehabilitasi Gedung Sekolah dari dana Dekonstrasi Tahun 2006”, Laporan dalam Rapat Koordinasi Rehabilitasi Gedung Sekolah yang diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional Januari 2007.



Wibawa, Samodra. 2005. ”Reformasi Administrasi : Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/Publik”. Yogyakarta : Penerbit Gava Media.



Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.



Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.



Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009.



Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2002 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.




Comments
Search
Only registered users can write comments!


Powered by !JoomlaComment 3.26
3.26 Copyright (C) 2008 Compojoom.com / Copyright (C) 2007 Alain Georgette / Copyright (C) 2006 Frantisek Hliva. All rights reserved."
Terakhir kali diperbaharui ( Senin, 05 Januari 2009 )

< Sebelumnya Selanjutnya >
[Kembali]

www.bangkabelitungprov.go.id | © Copyright 2008
Komplek Perkantoran dan Pemukiman Terpadu Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Air Itam Pangkalpinang 33148 Fax.(0717)439324 | Telp.(0717)439325,439326,439327

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa pendapat Anda dengan Blog ini?

Pengikut