SELAMAT DATANG DI BLOG HARYOTO SUNGAILIAT BANGKA

Selasa, 29 September 2009

Pendidikan Karakter

Artikel:
Membangun Karakter Guru SD melalui Budaya ICT


Judul: Membangun Karakter Guru SD melalui Budaya ICT
Bahan ini cocok untuk Sekolah Dasar bagian PENGEMBANGAN TIK.
Nama & E-mail (Penulis): Dr. Deni Darmawan, S.Pd.,M.Si
Saya Dosen di Universitas Pendidikan Indonesia
Topik: Budaya ICT
Tanggal: 31 Mei 2008

Membangun Karakter Guru SD melalui Budaya ICT

Oleh: Deni Darmawan

Perubahan Ke Arah Positif

Perubahan kadang bisa merubah budaya yang ada, baik secara sadar maupun tidak sadar. Jika kita telaah biasanya perubahan ke arah yang positif seakan berat dirasakan apalagi untuk merubah kondisi yang ada sebelumnya, sebaliknya perubahan ke arah yang negatif kadang tak terasa dan dengan mudah cepat merubah kondisi yang ada menjadi lebih parah. Inilah yang kadang menjadi penyakit bagi kemajuan suatu bangsa, golongan dan bahkan individu tertentu. Jika ini dibiarkan maka akan tercipta suatu budaya yang memang demikian, sehingga bangsa ini dalam berbagai bidang pembangunan akan sulit untuk berhasil terlebih dalam bidang pendidikan yang terus dituntut untuk selalu mampu memberikan layanan bagi generasi bangsa ini secara inovatif.

Namun demikian kita yakin bahwa secara jujur kegagalan dan ketertinggalan yang sekarang kita alami diasumsikan karena adanya indikasi bahwa budaya kegagalan yang seharusnya hanya sebagai guyonan di atas justru masih kita menganutnya dan tumbuh secara mendarah daging pada diri kita. Untuk mengikisnya atau menggeser budaya tersebut memang akan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Namun kita yakin dengan bergulirnya waktu tentunya semua pihak terus bergerak mencari solusi pemecahan agar budaya yang tumbuh adalah budaya yang justru kita inginkan bersama. Inilah yang selama ini telah dilakukan dalam proses pembangunan di bidang pendidikan. Dalam prakteknya ini merupakan tanggung jawab bersama baik secara kelompok bahkan institusi, mulai dari level atau jenjang paling bawah hingga level pengambil kebijakan.

Sebagaimana yang telah dicoba oleh Dirjen PMPTK (Penjamin Mutu Tenaga Pendidik dan Kependidikan) yang telah bekerjasama dengan Seamolec sebagai fasilitator terbentuknya konsorsium pertama yang beranggotakan 10 universitas di Indonesia, termasuk di alamnya adalah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Hingga sekarang usia konsorsium pelaksana penyelenggaraan program sertifikasi dan peningkatan kualitas lulusan tenaga pendidik di level pendidikan dasar ini sudah berusia 2 tahun. Program layanan sertifikasi dan peningkatan kualifikasi tenaga pendidikan untuk level pendidikan dasar yang telah dilakukan oleh UPI yaitu dalam bentuk layanan perkuliahan melalui adopsi sistem dan teknologi pembelajaran jarak jauh yang dikenal dengan PJJ online. Karena yang menjadi saran adalah guru-guru SD di Kab/Kota yang belum S1 maka program ini biasa disebut dengan Program PJJ Online PGSD S1.

Hingga sekarang jumlah mahasiswa program ini telah mencapai 300 orang yang terbagi ke dalam dua angkatan yaitu anggkatan 2006/07 dan 2007/08. Jumlah mahasiswa ini tersebar dalam 8 Kab/Kota yaitu: Kab Garut, Kab. Tasikmalaya, Kab. Ciamis, Kab. Sumedang, Kab. Bandung, Kota Bandung, Kab. Cianjur dan Kab. Sukabumi. Pada usia yang ke-2 tahun ini maka maka setidaknya sudah pantas untuk dievaluasi secara internal maupun eksternal. Tegasnya bahwa sebelum dievaluasi oleh orang lain maka sudah selayaknya kita terlebih dulu mengevaluasi diri sendiri. Sudahkan UPI sebagai anggota konsorsium yang memiliki tugas sebagai pelaksana atau penyelenggara sistem pembinaan dan perkuliahan bagi para pendidik di daerah telah berhasil mewujudkan budaya perubahan ke arah yang positif secara lebih cepat atau perubahan tersebut memang masih belum terwujud. Secara kelembagaan tentunya UPI yang didukung SDM dengan kompetensi yang memadai tidak ingin hal ini menjadi suatu kegagalan ditengah jalan. Namun untuk mewujudkan keberhasilan ini perlu dukungan kebersamaan dan kesadaran semua pihak khususnya individu guru-guru sekolah dasar itu sendiri yang menjadi mahasiswanya.

Budaya ICT Guru

Melalui proses perkuliahan yang dikembangkan sedemikian rupa, mulai dari pembekalan keterampilan dasar Ict yang sangat mendadak dan waktu yang sangat pendek memang menjadi tantangan bagi para pengelola demikian juga bagi mahasiswa yang mayoritas adalah guru sekolah dasar dari 8 Kab/Kota yang berusia rata-rata di atas 40 tahun dapat dikatakan sebagai suatu pemutarbalikan era teknologi informasi dan komunikasi di tahun 80-an. Pada rentang tahun itulah rata-rata guru yang harus menempuh perkuliahan dengan sistem PJJ Online sekarang ini memiliki masa-masa tingkat kecepatan dan ketajaman berpikir dan menangkap sesuatu yang baru dengan cepat, dan berbeda 180 derajat jika hal itu dirasakan sekarang.

Terlebih masalah budaya dan sudah menjadi kebiasaan rutin setiap hari yang sangat sulit untuk dirubah dengan segera, dan ini ternyata menjadi tantangan khusus bagi para dosen dan pengelola program PJJ S1 PGSD Online ini. Boleh dikatakan budaya ICT dimungkinkan hanya sekitar 0,2% dari 300 guru yang menjadi mahasiswa ini bahkan sekitar 65% guru belum pernah mengetik dengan komputer sekalipun apalagi mengenal dunia internet. Namun melalui 2-3 kali pembekalan khusus keterampilan komputer pengolah kata, pengolah angka, dan keterampilan dasar internet, mulai dari pendaftaran e-mail address yang dilakukan tim dosen selama proses resindesial, akhirnya keterbukaan wawasan dan cakrawala guru terhadap dunia ICT sudah mulai terbuka. Satu persatu mereka mampu menunjukkan keterampilan yang diharapkan.

Penguasaan keterampilan internet ini merupakan harga mati dan ini boleh dikatakan sebuah suatu tantangan tersendiri bagi seluruh mahasiswa PJJ S1 PGSD Online UPI ini. Tantangan tersebut ternyata bisa dipecahkan melalui perubahan kebiasaan atau budaya sebelumnya, hari-demi hari dan minggu demi minggu bapak dan ibu guru dari daerah ini mulai terbiasa mengunjungi warnet-warnet dan ICT Center yang berada di Kab/Kota masing-masing untuk melayani mahasiswa agar bida melakukan akses internet demi jalannya proses perkuliahan secara online.

Hingga pada tahun kedua ini ternyata budaya akses internet hingga tingkat kepemilikan sebuah flash disk mulai tumbuh dengan pesat di kalangan mahasiswa PJJ ini. Dalam pertemuan atau Tutor kunjung yang sudah beberapa kali dilakukan oleh dosen dan para pengelola maka melalui analisa kompetensi mahasiswa dalam penguasaan bidang ICT ini boleh dikatakan sudah lebih baik, dan dapat dikatakan Budaya ICT sudah dimiliki oleh mahasiswa PJJ ini. Indikator mulai tumbuhnya budaya ICT dikalangan guru-guru pilihan ini misalnya dapat dipancing melalui obrolan ringan dan lugu di mana beberapa guru yang sudah berusia sekitar 50 tahunan menanyakan pengalamannya melakukan hosting dan Browshing, atau chatting, di mana istilah-istilah ini biasa kita dengar dikalangan mahasiswa reguler usia 16-27 tahun.

Ketika mengedengar kata-kata itu dari guruyang menjadi mahasiswa PJJ S1 PBSD Online tadi maka mendengarnya mungkin cukup unik tapi membanggakan. Ternyata diusia senja guru-guru Sekolah Dasar dari 8 Kab/Kota ini mampu bersaing dalam penguasaan ICT dengan komunitas lainnya yang barangkali lebih muda usia dan jam terbangnya. Setidaknya dari best Practice ini maka guru-guru tersebut akan mampu membangun suatu budaya baru dalam profesinya, bukan hanya untuk kepentingan perkuliahan saja, akan tetapi dalam menunaikan tugas-tugas kesehariannya sebagai guru di sekolah dasar diharapkan mampu menerapkannya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolahnya masing-masing.

Kebiasaan-kebiasaan baru inilah dapat diyakini bahwa budaya baru yaitu "Budaya ICT" di kalangan guru sekolah dasar akan terbangun. Jika budaya sudah terbangun maka karakter individu gurupun akan terbentuk dengan sendirinya. Maka inilah yang diharapkan oleh semua pihak.

Lebih Unggul dari Provinsi Lain

Jika boleh penulis bandingkan kecepatan dalam merubah dan membangun budaya ICT di kalangan mahasiswa PJJ S1 PGSD Online UPI yang 100% adalah guru-guru SD dengan usia lanjut ini ternyata lebih unggul daripada mahasiswa dari provinsi lain yang diselenggarakan oleh 9 Universitas pada keanggotaan konsorsium awal. Hal ini sebagaimana telah disampaikan dalam Acara Vicon (Video Conference) di Kampus Institut Teknologi Bandung (Jum'at 26 April 2007) telah dilakukan bersama Dirjen PMPTK dan Pengelola PJJ S1 PGSD Online Tingkat Nasional yaitu perwakilan Seamolec untuk Indonesia dalam hal ini adalah Universitas Terbuka dan Pustekom.

Jika penulis simak dari diskusi selama Vicon tersebut berlangsung dapat ditarik kesimpulan bahwa di dunia, Indonesia dianggap sebagai negara yang terbesar dalam penggunaan Teknologi Informasi dalam bidang pendidikan, sebagaimana contohnya untuk meningkatkan kompetensi guru SD maka dalam jangka 10 tahun akan dicetak 2,3 juta guru yang harus menguasai ICT dengan baik. Dengan melalui sistem Tutorial Online maka layanan akses pembelajaran jarak jauh oleh total anggota konsorsium penyelenggaran PJJ PGSD S1 online yang sudah berjumlah 23 Universitas ini akan mampu mewujudkan target tersebut.

Khusus untuk UPI maka untuk tahun kedua ini akan segera melakukan proses MoU dengan ICT Center di masing-masing Kab/Kota yang selama ini telah menjalin kerjasama proses perkuliahan untuk mahasiswa angkatan pertama (tahun pelajaran 2006/07) dan Angkatan ke-2 (tahun pelajaran 2007/08). Adapun ICT center tersebut diantaranya adalah Ict Center Kab. Garut beralamat di SMK 2 Tarogong yang sudah berstandar Internasional, ICT Center Sumedang beralamat di SMK PGRI, ICT Center Kota Bandung dan Kab. Bandung yang beralamat di SMK 4 Kota Bandung, ICT Center Kab. Sukabumi beralamat di Yayasan Tarbiyah Islamiah (YASTI), dan ICT Center Kab. Cianjur yang beralamat di SMK1 Cianjur.

Dengan demikian UPI sebagai Universitas Pendidikan yang diberi tugas dalam membangun kualitas guru sekolah dasar melalui penyelengaraan PJJ PGSD S1 Online yang bekerjasama dengan ICT Center Kab/Kota ini akan mampu menuntaskannya dengan baik. Sehingga perwujudan Karakter Guru SD yang menguasai bidang ICT bisa tercapai pula dengan cepat. Pada Akhirnya budaya ICT akan tumbuh sebagai budaya baru para guru sekolah dasar yang mampu mempercepat perubahan-perubahan positif lainnya, khususnya di lingkungan sekolahnya masing-masing.

Saya Dr. Deni Darmawan, S.Pd.,M.Si setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di E-Majalah.Com dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.

Pendidikan-DasarSekolah-MenengahPerguruan-TinggiCari-PekerjaanTeknologi&PendidikanPengembangan-Sekolah


SEMAI KARAKTER BANGSA

#51

KECERDASAN PLUS KARAKTER

Russell T. Williams (Jefferson Center For Character Education-USA)

Ratna Megawangi (Indonesia Heritage Foundation)

Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.

Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).

Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah.

Namun masalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa “bodoh” karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang tidak masuk “10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya.

Rasa tidak mampu yang berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan mendorong remaja berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU.

Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir besar dunia. Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter). Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).

Wajah-wajah Pendidikan Karakter; Awal Mula lewat Sejarah

Ditulis oleh idenk pada 16 Mar 2008 Cetak Halaman - Tidak ada komentar

sejarahSejak umur 3 tahun anakku sudah mampu membaca. 7 bulan kemudian semua kata berbahasa Indonesia dapat dibacanya dengan baik. Layaknya anak di bangku sekolah dasar. Karena jenis tulisan favoritnya adalah dongeng atau cerita anak, ditambahkannya mimik dan intonasi untuk menggambarkan pembedaan tokoh. Lambat laun kerap muncul pertanyaan seputar kata yang belum dipahaminya. Kadang dilemparkannya dengan emosi, misalnya: “Kenapa sih, anak itu tidak mau meminjamkan mainannya? Ara aja mau kasih pinjam mainan ke teman-teman.”

Ilustrasi riil di atas menggambarkan tercapainya parameter konten menurut struktur kemampuan intelektual ala Guilford (1982); digambarkan sebagai kelompok (tipe) informasi, seperti: berwujud, simbolik, semantik, menggambarkan perilaku dan merupakan interaksi nonverbal individu. Singkat kata, model ‘Guilford’ menunjukkan halaman yang sebenarnya tidak baru dalam pendidikan dan konsep keberbakatan. Sebuah rasionalisasi pengamatan keberbakatan dari berbagai segi, yang dihantarkan lewat metode mendongeng atau bercerita bagi anak. Dari sini kita akan beranjak pada peran vital pendidikan dalam menentukan tidak hanya keberlangsungan masyarakat, namun juga mengukuhkan identitas individu dalam masyarakat.

Batu Pertama

Eksistensi setiap kebudayaan mengalami pergulatan utama melawan resiko dilupakan, hilang dalam sejarah, serta tidak diingat lagi. Bercerita merupakan cara paling tradisional melawan ‘lupa’ yang juga bertujuan untuk meneruskan cita-cita, idealisme, nilai-nilai, adat-istiadat, perilaku, dll, dalam kekayaan budaya suatu masyarakat kepada generasi selanjutnya. Perjuangan dan usaha mengenang harta warisan kebudayaan leluhur ini adalah bentuk awal kegiatan pendidikan. Oleh karena pendidikan selalu berkaitan dengan ingatan (memoria), maka risiko dilupakan merupakan ancaman konstan bagi setiap budaya lisan, sebab tergantung pada proses pewarisannya yang bersifat temporal seiring waktu kepunahan manusia sebagai pelaku.

Pada perkembangannya manusia mengembangkan budaya tulisan, sebagai antisipasi situasi ketergantungan tadi. Sehingga mampu memperpanjang keberlangsungan sejarah dan nyawa masyarakat dan kebudayaannya. Seperti kata pepatah latin: verba volant, scripta manent (kata-kata akan hilang, sedangkan yang tertulis akan tetap tinggal). Kemudian terus digali model-model pendidikan bagi proses pembelajaran generasi selanjutnya agar semakin mudah dipahami dan cepat terintegrasi dengan kultur masyarakat, dan sesuai perkembangan jaman, hingga terungkap paling tidak tiga (3) cara, yaitu: imitasi spontan perilaku orang-orang dewasa, bermain peran (role play), dan pengenalan dunia simbolik.

Pengembangan pendidikan dari tradisi lisan menuju tulisan dapat ditemui dalam tulisan hieroglif (hieroglyp) milik Mesir Kuno dan Mesopotamia, yang mengukuhkan diri sebagai pelopor. Diteruskan pada masyarakat sekitar Timur Tengah, seperti kultur Yahudi, Yunani, Romawi, Bizantium, dan Arab. Akan tetapi tradisi lisan jauh lebih dikembangkan oleh Kebudayaan Yunani Kuno yang kemudian memproklamirkan diri sebagai pelopor pembaruan dalam pemikiran, baik tentang manusia, alam, dan politik. Dan memang pionir pemikiran tentang humanisme ditemukan dalam kebudayaan tersebut lewat filsafat yang dikembangkan.

Pendidikan karakter berbasis humanis mau tidak mau mengajak kita menengok ke belakang, dimana pujangga besar yunani kuno, Homeros, meletakkan visi pendidikannya lewat tampilan pahlawan sebagai gambaran manusia ideal, yang memiliki areté. Dalam kaitannya dengan kualitas fisik bisa berarti kemampuan, kekuatan, keuletan, kepandaian, kesehatan, kemurahan hati, kemakmuran. Sementara dalam kaitan moral berarti keutamaan, keberanian, nilai, keadaan gembira, bijaksana, nama baik, keunggulan. Dalam fase perkembangannya, tidak sekedar terdominasi pada kesadaran perjuangan hidup individu untuk meraih keutamaan yang bersifat individual, justru semakin merambah pada keutamaan berbagai macam dimensi atau bidang kehidupan, misalnya keutamaan sebagai petani (Hesiodos), keutamaan serdadu (Tirteo dan Callino), keutamaan dalam olahraga (Pindaro), keutamaan sebagai orator (kaum sofis dan Isokrates), keutamaan filosofis (Plato). Gambaran ini menyimpulkan bahwa Yunani kuno memiliki dua inti ketertarikan pendidikan; gimnastik & musik, serta kebaikan & keindahan. Dimana pendidikan karakter ditekankan pada pertumbuhan individu secara utuh dengan cara mengembangkan potensi diri individu, yang berkaitan dengan dimensi fisik dan moral. Hingga di kemudian hari didapati adanya dua unsur penting bagi kurikulum Yunani klasik, pertama, adanya hubungan antara pendidikan manusia dengan lingkungan hidup yang mengitarinya. Maksudnya, mendidik berarti menanamkan nilai dan perilaku demi apresiasi dan rasa hormat dari masyarakat. Kedua, adanya gagasan bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan manusia secara total sepanjang hidup. Intinya menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang baik. Seperti kata Martin Luther King, Jr: “Kecerdasan plus karakter adalah tujuan sejati sebuah pendidikan.”

Gagasan brilian pujangga besar Homeros kemudian dikembangkan oleh Hesiodos. Konsepnya berubah dari konotasi kepahlawanan menjadi pergulatan di medan kehidupan sehari-hari bagi kaum jelata, kalangan sederhana, dan petani. Menurutnya kalangan ini dapat memiliki keutamaan lewat penghayatan akan makna kerja keras dengan cucuran keringat. Areté pada kaum ini diperoleh melalui sikap bersahaja dan sederhana dalam menyikapi persoalan-persoalan hidup. Berdasarkan pengalamannya menghadapi konflik pribadi dengan saudara laki-lakinya, Perse, selanjutnya muncul dua dasar prinsip pendidikan; berlaku adil, dan mau bekerja keras. Sebab menurutnya, mereka yang tidak bekerja telah berlaku tidak adil. Dasar moral yang dihantarnya lewat media puisi ini dalam kerangka pedagogi dan pendidikan karakter dapat menjawab pertanyaan: apakah pendidikan yang mengarah pada keutamaan yang akan menjadi karakter individu dapat diajarkan? Dan, apakah areté dapat diajarkan? Ketegasan Hesiodos menjawab: Ya!, membawa kita pada rangkuman pemikiran dua pendidik besar dalam kultur Yunani; Homeros yang mengingatkan kita bahwa setiap kebudayaan bergerak dalam kerangka pembentukan humanisme aristokratis lewat kemunculan kesadaran diri untuk membentuk kualitas diri sebagai pahlawan dan tuan atas diri sendiri. Sedangkan Hesiodos menunjukkan dasar kokoh keutamaan populis berupa penghargaan atas nilai kerja yang membingkai perilaku adil demi kestabilan dan kesejahteraan suatu masyarakat.

Pendidikan karakter atenean yang lebih bersifat demokratis, dialogis, dan menghargai individu, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pendidikan karakter spartan pada masa kemerosotan. Menjadi antitesis oleh sifatnya yang tiranis, totalitarian, dan komunal. Areté pun tidak sekadar idealisme dengan menjadi serdadu bersemangatkan patriotisme, namun negara sebagai institusi tertinggi mengambil alih kinerja edukatif secara total, dan dalam arti yang sesungguhnya. Perubahan drastis ini mengikuti perubahan masa keemasan Sparta dari negara militeristis, namun juga menjadi pusat kegiatan budaya, seni, dan keindahan lewat perkembangan musiknya, menjadi lebih barbar, keras, dan membatu. Akibat terjadinya revolusi sosial politik sekitar tahun 550 SM dikukuhkan keberadaan para tiran yang memegang kendali militer secara holistik. Dalam konteks rejim tiranis militeristis, pendidikan karakter Sparta bagi warga negara terutama diarahkan pada perubahan keutamaan moral sebagai warga negara, yang memiliki cinta dan ketaatan secara total pada tanah air, menghargai nilai kekuatan dan kekerasan, dan mengutamakan latihan fisik demi kesiapan tempur. Gambaran idealisme kepahlawanan secara total lalu mengaliri setiap jiwa warga negara yang kemudian diamini sebagai idealisme pendidikan karakter ala Sparta. Hingga menegaskan dan meyakini betapa pentingnya negara sebagai identitas komunal sebagai bagian dari kinerja individu untuk menyempurnakan hidupnya. Sebab dikatakan bahwa individu tidak akan sampai pada kesempurnaan kemanusiaannya jika tidak disertai adanya semangat berkorban terhadap komunitas yang kebaikannya mengatasi kebaikan individual.

Athena pun memiliki jejak sejarah militer dengan idealisme kepahlawanannya, namun pada abad ke-6 terjadi perubahan yang amat signifikan. Dari semangat militeristis berubah menjadi lebih berwajah sipil, serta pendidikannya yang lebih berwajah santun dan sportif. Sejarawan bernama Tucidite mengukuhkannya dengan alasan penduduk kota Athena diberi kekuasaan luas dalam melakukan perubahan dalam struktur, dan tatanan sosial untuk mengurus pólis (negara-kota, red). Pelopornya adalah Solon, intelektual yang apresiatif terhadap kehidupan seni dan kebudayaan, yang kemudian terpilih sebagai arconte (legislatif yang memiliki kekuasaan menjalankan pemerintahan) melalui sebuah konsensus antar warga pólis. Kekuasaannya sebagai mediator proses perdamaian antar pihak yang berselisih, hakim yang menengahi konflik antara kepentingan rakyat dan bangsawan, serta pembuat konstitusi negara, menempatkannya sebagai pelindung warga kota dari buruknya sistem pemerintahan akibat temuan berbagai macam jenis korupsi. Baginya, hak untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik dan menjunjung tinggi nilai keadilan dan perdamaian bukan menjadi monopoli, keistimewaan, dan tanggungjawab kaum bangsawan saja. Melainkan merupakan keprihatinan seluruh warga pólis, yang didirikan atas solidaritas warga kota. Dalam konteks pendidikan perubahan tidak hanya terjadi secara kualitatif, namun pula kuantitatif. Dari areté ideal yang bersifat aristokratis hingga bersifat lebih demokratis. Terbuka dan dipraktekkan setiap kesempatan bagi setiap warga negara yang ingin berprestasi. Keutamaan sebagai cita-cita setiap warga pólis beralih pada persaingan dalam perlombaan olahraga Olimpiade, hingga selanjutnya berimbas pada kehadiran gerakan demokratisasi terhadap sekolah. Dari bersifat privat oleh monopoli kaum bangsawan, hingga terbuka bagi publik. Pendidikannya menawarkan kurikulum integral yang mencakup pengembangan fisik melalui gimnastik, musik, puisi, teater, dan sastra, dengan tujuan: membentuk anak didik menjadi manusia sempurna yang memiliki pertumbuhan integral atas berbagai macam dimensi hidup. Terutama menjadi pribadi dengan kualitas moral. Beberapa metode yang diterapkan diantaranya belajar memetik harpa, membacakan syair-syair puisi terkenal diiringi denting gitar bersifat ritmis dan harmonis, sehingga mampu menembus kedalam jiwa anak. Sampai muncul kelembutan, serta keseimbangan dan harmoni interior dalam jiwa. Bagi Protagora, pendidikan musik turut memberikan sumbangan karakter moral, sebab seluruh hidup manusia memerlukan keseimbangan dan harmoni. Seperti dikatakan Mahatma Gandhi: “seseorang tidak akan dapat melakukan hal yang benar di dalam satu bagian hidup, selagi ia melakukan hal yang salah di bagian hidup yang lain. Hidup adalah kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi.”

Selain pendidikan karakter lisan vs tulisan, aristokratis, populer, patriotis, dan harmonis, ada lagi pendidikan karakter retoris, yang terjadi di Athena pada masa Pericles sekitar abad ke-5 SM. Demokrasi pada masa ini mendulang kejayaan lewat peran para sofis. Untuk dipahami terlebih dahulu, secara etimologi, sofis yang berasal dari bahasa Yunani sofizesthai berarti kemampuan berbicara dengan baik. Kaum sofis ini mengandaikan demokrasi sebagai ruang publik tempat setiap orang dapat menyampaikan pendapat dan gagasannya untuk memengaruhi opini publik. Karenanya pendidikan dalam konteks ini merupakan sebuah persiapan bagi individu untuk memasuki kehidupan politik, terutama mencetak para orator ulung yang mampu memberikan kesan melalui kata-kata paling indah, sehingga para pendengarnya turut terkesan. Ini ditentang oleh Plato. Kaum sofis baginya tidak lebih dari orang yang pandai bersilat lidah; meyakinkan pendengar dengan pendapat sesat yang tidak berdasarkan kebenaran. Terlebih karena para sofis mendapat bayaran atas pengajarannya. Namun secara umum, Protagora menggunakan pendekatan humanis dengan memosisikan manusia sebagai subjek penilai. Selain turut memiliki kecenderungan atas fenomenisme lewat penjelasannya bagi hal-hal yang mengacu pada anggapan, yang bukan realitas itu sendiri. Pemikiran ini menempatkannya sebagai pelopor pemahaman relativisme pengetahuan dan moral. Coba amati prinsipnya yang terkenal: “manusia adalah ukuran bagi segala sesuatu terhadap hal-hal yang sejauh ada, dan terhadap hal-hal yang tidak ada sejauh tidak ada”. Paling tidak, masih ada kebenaran dalam pemikiran Protagora. Meski relatif. Beda halnya dengan pemikiran Giorgia, salah seorang yang termasuk dalam kaum sofis awal bersama Protagora. Menurutnya kebenaran sama sekali tidak ada, lebih sebagai suatu hal yang salah. Diskursus tak lain adalah seni untuk menarik kepercayaan publik lewat kata-kata, kemudian meyakininya. Singkat kata, masa kejayaan Pericles diwarnai oleh pendidikan karakter yang lebih didominasi oleh areté bersifat politis yang termanifestasi melalui kemampuan retoris yang indah, sehingga mampu mempengaruhi pendapat umum (pendengar).

Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus-menerus merawat minat dan keingintahuan untuk belajar. Sebab dengan membelajarkan secara serempak pikiran, hati, dan fisik, anak akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan pendidik sanubari “karakter”. Dimana mereka mendidik anak menjadi “good and smart”, dalam arti ‘terang hati dan pikiran’. Inilah visi baru kemanusiaan yang dihantar oleh Sokrates lewat paradigmanya yang terkenal, “kenalilah dirimu sendiri”. Dengan mengenal diri sendiri, berarti manusia juga mengenali ‘jiwa’-nya. Lewat pemeliharaan jiwa sebagai tujuan pendidikan karakter, Sokrates memberi warna baru bagi Athena. Dan bagi dunia secara keseluruhan. Sebab, jiwa merupakan suatu hal yang membedakan manusia yang satu dengan manusia lainnya. Lebih dari itu, areté dalam versi Sokrates lebih interior, yaitu dimensi moralitas manusia. Pemahaman ini dikritik pedas oleh Plato, karena menurutnya pendidikan memiliki fungsi esensial untuk memimpin manusia pada keutamaan, yang membawa manusia pada kehidupan kontemplatif antara apa yang ‘baik’ dan yang ‘benar’. Lewat penggabungan tiga kenyataan penting dalam diri manusia yaitu negara, kebahagiaan dunia, dan kebahagiaan yang mengatasi dunia ini. Inilah jiwa yang mesti dipelihara keharmonisannya. Dan visi ini hanya bisa dilakukan dalam kebersamaan dengan semua warga untuk membangun sebuah tatanan masyarakat yang demokratis. Di dalamnya kebaikan dan keadilan menjiwai setiap kehidupan politik dan individual warga negara. Tanpa kontekstualisasi dalam kehidupan politis, perilaku moral sebaik apa pun hanya akan memiliki corak domestik.

Tradisi, Keluarga, dan Pendidikan Humanis

Salah satu hadiah paling bagus yang dapat diberikan orangtua kepada anak-anaknya adalah kegemaran membaca, dan menyukai buku-buku bagus. Pada tahap awal dapat lewat hanya membacakan. Bentuk terkecil dari pertanggungjawaban orangtua atas perkembangan moral anak, namun sama kuat pengaruhnya dengan teladan yang baik. Lewat ‘mendengarkan’ sebagai kompetensi dasar, anak mempelajari sebuah ketrampilan. Semakin sering dilakukan akan semakin terampil. Inilah salah satu metode yang dapat digunakan keluarga sebagai bagian dari masyarakat dalam membantu pelaksanaan pengakuan negara terhadap hak anak, seperti tercantum dalam pasal 29 ‘c’ Konvensi Hak Anak: ‘Pengembangan rasa hormat kepada orang tua anak, indentitas budaya, bahasa dan nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak dan kepada peradaban-peradaban yang berbeda dari peradabannya sendiri.’.

Paragrap tadi mengajak kita mengupas idealisme manusia yang terus menyempurnakan diri sebagai individu, namun tidak hanya lewat kebudayaannya saja. Sebagai manusia dalam konteks dunia global, perlu juga memapahami kebudayaan-kebudayaan lainnya. Inilah gerbang kosmopolitanisme pada masa Hellenis lewat Cicero dan Varrone sebagai tokohnya, yang mengantar pemahaman akan perkembangan individu secara utuh, dan sempurna ke arah humanitas. Bukannya bersifat parsial, segmentaris dan tertutup pada kebudayaan sendiri, melainkan memiliki kapasitas dan kemampuan untuk bertumbuh melalui kehadiran kebudayaan lain yang berbeda. Pendidikan karakter dibentuk melalui sistem pater familias (keluarga) yang menghormati mos maiorum (rasa hormat terhadap tradisi leluhur sebagai norma tingkah laku dan cara berpikir) dan berazaskan nilai-nilai: mengutamakan kebaikan tanah air, devosi (la pietas) atau pengabdian, kesetiaan (la fiedes), perilaku bermutu (la gravitas), dan stabilitas. Singkat kata, ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam proses pendidikan anak berdasarkan nilai-nilai penghormatan yang sama bagi sang pencipta, orangtua, dan negara; menjaga komitmen melalui kesetiaan sebagai dasar terciptanya keadilan; memiliki rasa percaya diri sepenuhnya dalam mengambil tindakan berdasarkan pengalaman; serta membina koherensi antara tindakan dengan pemikiran diri sendiri.

Berbagai macam gagasan dan refleksi pendidikan di Romawi kian membuka mata terhadap humanitas. Salah satunya Plauto lewat refleksinya yang mengatakan bahwa manusia tidak selamanya merupakan pendidik bagi manusia lain, ibaratnya, manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus est). Bertentangan dengan tokoh sesudahnya, Cecilio, yang lewat ungkapannya homo homini deus est, si suum officium sciat (manusia adalah dewa bagi manusia lain jika ia mengetahui kewajibannya) ini hendak menunjukkan rasa solidaritas dan kerjasama dengan saling menguntungkan, jika mengenali kewajiban dasar mereka sebagai manusia. Dari sini lah sekat-sekat pembatas kemanusiaan di”cabut” oleh aktor humanisme bernama Terrenzio (194-159 SM). Ungkapannya homo sum: humani nihil a me alienum puto (aku adalah manusia, tidak satu pun yang manusiawi merupakan hal yang asing bagiku) mengukuhkan bahwa yang dialami setiap manusia menunjukkan bahwa tidak semestinya manusia saling mengasingkan diri. Inilah proklamasinya akan persaudaraan dan universalitas.
Masih terus berlanjut pengembangan pemahaman akan Pendidikan karakter bagi anak pada jaman sesudahnya sehingga kesimpulan adalah hal yang tidak layak untuk dihadirkan. Justru layak bila dipelajari lebih lanjut pemikiran-pemikiran orang besar dalam dunia pendidikan ini. Semoga para pembaca sekalian masih sudi meluangkan ruang dalam otak kiri dan kanan untuk menerima masukan-masukan dalam tulisan selanjutnya. (aim)

Sumber:
1. PERSPEKTIF PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT, Conny Semiawan, Jakarta, 1997.
2. PENDIDIKAN KARAKTER-STRATEGI MENDIDIK ANAK di ZAMAN GLOBAL, Doni Koesoema A, Jakarta, 2007.
3. ANAK-ANAK KARBITAN, Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.
4. FAMILY WISDOM, Robin Sharma, Jakarta, 2005.
5. Pasal 29 ‘c’ Konvensi Hak Anak

Artha Intan Martini, anggota sidang redaksi Sekitarkita dan penggiat homeschooling

Popularity: 7% [?]

Sebarkan:
  • Digg
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google Bookmarks
  • Technorati

Tinggalkan komentar anda!

Daftarkan komentar anda, atau trackback dari situs anda. Anda dapat mendaftar komentar melalui RSS.

Tidak ada toleransi untuk spam

Anda dapat menggunakan tag:

Gravatar diperkenankan, silahkan mendaftar

Gravatar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa pendapat Anda dengan Blog ini?

Pengikut